Kamis 22 Oct 2015 15:25 WIB

Apa Cakupan Kafah dalam Pernikahan?

Menikah
Foto: RNW
Menikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernikahan adalah ikatan suci dua insan. Bersatunya dua anak manusia itu tak lepas dari proses yang telah digariskan syariat. Dalam khazanah ilmu fikih, dikenal istilah kafaah dalam proses pernikahan. Kafaah atau kufu bermakna sepadan, sebanding, dan semisal.

Beberapa ulama fikih berpendapat, calon suami dan istri harus memiliki kafaah yang sama. Alasannya, agar dalam pergaulan saat sudah menikah nanti lebih menjamin keharmonisan hidup rumah tangga. Namun, para  ulama berbeda pendapat tentang hal apa saja yang harus setara. Apakah agamanya, kehidupan sosial, status ekonomi, atau pendidikan?

 

Ibnu Hazm bahkan tidak melihat sama sekali kafaah sebagai sebuah prasyarat dalam pernikahan. Menurutnya, semua Muslim pada dasarnya sama. Asal tidak menjadi pezina, ia memiliki hak untuk menikahi siapa saja, Muslim atau Muslimah lain, asal juga bukan pezina.

Alasannya, menurut Ibnu Hazm, tiap mukmin itu bersaudara. Ia mendasarkan pendapatnya ini sesuai dengan Alquran surah al-Hujurat ayat 10 dan an-Nisa ayat 3 dan 24.

Jumhur ulama berpendapat sedikit berbeda. Menurut jumhur, aspek kafaah harus mendapat perhatian sebelum proses pernikahan. Namun, yang dinilai hanya unsur keistiqamahan dalam beragama dan akhlaknya, bukan  karena faktor keturunan, status ekonomi, dan kekayaan.

Jika seorang lelaki dikenal agama dan akhlaknya baik, meski asal usulnya tidak diketahui, lelaki ini diperbolehkan menikah dengan wanita dari kalangan terhormat. Wali si wanita tidak boleh menolak pinangan lelaki ini selama akhlak dan agamanya terbukti baik.

Dasar pendapat ini dari surah al-Hujurat ayat 13, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa.."

Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah menjabarkan kafaah bisa dilihat dari enam hal dari seseorang. Yakni, keturunan, kemerdekaan, agama, profesi, kekayaan, dan keadaan jasmani. Dari enam hal itu, ulama memberikan pandangannya masing-masing.

Dalam hal keturunan, Sayyid Sabiq berpendapat, orang Arab sepadan dengan orang Arab lainnya. Orang asing dinilai tidak sepadan. Ia mendasarkan pendapatnya dari hadis, "Orang Arab sebanding antara sesama mereka, antara satu kabilah dan kabilah lain, suatu desa dengan desa lain, pria satu dengan pria lain.." (HR Hakim).

Mazhab Hanafi dan Syafi'i tidak berbeda pendapat soal keturunan seperti yang disebutkan Sayyid Sabiq. Namun, keduanya berbeda soal keunggulan dalam suku-suku Quraisy. Mahzab Hanafi berpendapat, suku Quraisy  sebanding dengan suku Hasyim, sementara Syafi'i berpandangan, suku Quraisy tidak sebanding dengan suku Hasyim dan Muttalib.

Abdur Rahman as-Sabuni menjelaskan ketentuan di atas hanya berlaku bagi bangsa Arab saja. Karena, bangsa Arab dikenal sangat menjaga keturunannya.

Sementara, penilaian dari sisi profesi tidak dimasukkan sebagai bagian dari kafaah oleh Imam Hanifah. Namun, kedua sahabatnya, Abu Yusuf dan Muhammad, mensyaratkan hal tersebut. Seseorang yang memiliki  pekerjaan mulia sesuai dengan ukuran masyarakat setempat, sepadan dengan pekerjaan mulia yang lain.

Sementara dalam hal kekayaan, ada perbedaan pendapat di kalangan Mazhab Syafi'i sendiri. Sebagian menilai faktor kekayaan adalah hal yang harus dinilai, sementara kalangan yang lain berpendapat sebaliknya. Mahzab Hanafi menilai kekayaan bukanlah faktor kafaah yang harus diperhatikan.

Dalam hal jasmani, Mahzab Syafii menjadikan bagian dari penilaian. Seorang wali dari wanita bisa menilai apakah lelaki yang datang hendak meminangnya itu memiliki gangguan jasmani. Sementara, kalangan Mahzab Hanafi dan Hanbali tidak melihat fisik sebagai bagian dari penilaian.

Agama menjadi syarat yang disepakati jumhur ulama. Namun, ada yang berpendapat faktor agama bukan hanya yang ada pada calon pria dan wanita, melainkan juga keluarganya. Silsilah keluarga yang beragama Islam dinilai lebih unggul dibanding lain. Leluhur yang masuk Islam lebih dulu dinilai memiliki kelebihan dibandingkan leluhur yang masuk Islam belakangan. Pendapat ini dikemukakan Imam Abu Zahrah. Namun, Imam Abu Zahrah mengkhususkan syarat ini bagi orang-orang Persia yang masuk Islam demi keselamatan diri.

Dalam bab kafaah ini, para ulama mensyaratkan, yang dilihat hanya calon lelaki saja, bukan sang wanita. Karena, pada dasarnya yang aktif mencari jodoh adalah lelaki. Sementara, pihak wanita bisa melakukan penilaian dari kafaah yang dimiliki seorang laki-laki. Allahua'lam.

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement