REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Muktamar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ke V di Bogor, pada 4-7 Desember, mendatang, harus menjadi momen bagi ICMI untuk kembali ke khitah. ICMI harus peduli terhadap terpuruknya kondisi bangsa dan mampu mengidentifikasi setiap masalah di masyarakat.
Pendapat itu disampaikan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur (Jatim), Ismail Nachu kepada Republika, Jumat (3/12). Ismail menyatakan bahwa yang membedakan cendekiawan dan ilmuwan adalah pada bentuk ukuran kepedulian kepada bangsa dan umat, meski keduanya jago dalam bidang keilmuan tertentu.
Esensi perbedaan ilmuwan dengan cendekiawan, kata Ismail, terletak pada komitmen tinggi untuk memberikan sumbangsih agar bangsa lepas dari turbulensi krisis multidimensi dengan menggunakan pendekatan ilmu pengerahuan dan agama. “Itulah ihwal mengapa ICMI didirikan 20 tahun lalu. Khitah ICMI adalah peduli dan memberikan koreksi keadaan agar bangsa ini lepas dari keterpurukan,” terang alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya tersebut.
Menurut Ismail, ICMI harus tampil di depan dan berperan aktif untuk memberikan pencerahan kepada bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis keteladanan dari pemimpinnya. Bagaimana tidak, sambung Ismail, mayoritas penduduk negeri ini Muslim, namun korupsi di seluruh sendi kehidupan sangat tinggi. Sehingga ICMI harus memberikan kritik dan teladan dengan memberi gagasan role model tatanan pembangunan yang selaras dengan ajaran Islam.
“Bangsa ini bukannya berjalan di kegelapan, namun sudah buta dan hatinya tertutup. ICMI harus lebih berperan mengoreksi keadaan bangsa dengan memberi contoh. ICMI tak boleh berdiam diri karena punya akses untuk memulai perubahan,” jelas Ismail.