REPUBLIKA.CO.ID,Islam adalah ajaran yang bersumber dari wahyu Allah SWT yang nilai kebenarannya bersifat mutlak absolut dan tidak perlu diragukan lagi (QS 2: 2, QS 2: 147, QS 3: 60). Ia adalah ajaran yang jika dilaksanakan secara istikamah dalam kehidupan sehari-hari, akan memberikan rahmat, kasih sayang, dan kenyamanan.
Bukan saja pada umat manusia tanpa membedakan agama dan ras, melainkan juga bagi seluruh alam semesta (QS 21: 107). Betapa tidak, orang yang merusak tanaman dan hewan tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, dianggap sebagai orang yang berbuat fasik dan berbuat jahat yang sangat dimurkai Allah SWT (QS 2: 205).
Adalah dianggap sebagai perbuatan ihsan (sangat terpuji) jika seseorang yang membunuh seekor binatang, melakukannya dengan cara-cara yang baik. Dan, ketika menyembelih, disembelih pula dengan cara yang baik dengan menggunakan pisau yang tajam dan mengistirahatkan terlebih dahulu binatang yang disembelihnya sampai benar-benar mati sebelum diolah atau dimasak (HR Muslim).
Apalagi terhadap manusia sebagai makhluk paling mulia, yang diberikan akal untuk berpikir, hati untuk merasa, telinga untuk mendengar, mulut untuk berbicara, dan mata untuk melihat (QS 16: 78, QS 55: 4). Manusia diberikan kebebasan untuk memeluk sesuatu agama sesuai dengan keyakinannya tanpa ada paksaan sedikit pun (QS 2: 256).
Pemaksaan hanyalah akan mengundang kebencian Allah SWT. Perhatikan firman-Nya dalam QS 10: 99. "Dan, jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka, apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"
Secara empiris, telah terbukti dalam sejarah bahwa umat Islam sangat toleran terhadap penganut agama lain. Bahkan, ketika umat Islam berkuasa pun tidak ada yang dipaksa untuk memeluk ajaran Islam, termasuk umat Islam di Indonesia yang jumlahnya mayoritas, terkenal sangat toleran pada umat lain, bahkan melindungi mereka.
Toleransi kepada umat lain, bagi umat Islam, merupakan persoalan akidah, bukan persoalan strategi atau berpura-pura untuk mencari kelemahan dan kelengahan umat lain. Karena itu, jika terjadi pertentangan antarumat beragama di Indonesia, dipastikan sumbernya bukan berasal dari umat Islam, melainkan dari umat lain yang sombong dan takabur dengan harta dan kekuasaannya.
Walaupun merupakan mayoritas dan yang lain minoritas, umat Islam bersedia diatur dalam peraturan bersama, yaitu SKB dua menteri, demi kepentingan nasional dan kebersamaan. Justru, sekarang terlihat dengan jelas umat lainlah yang ingin mencabut SKB tersebut agar mereka leluasa menyebarkan agamanya, walaupun kepada umat Islam sekalipun. Jika ini dikabulkan oleh pemerintah (SKB tersebut dicabut), akan terjadi kekacauan dan pertentangan yang sangat merugikan dan melemahkan keutuhan bangsa dan negara serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mudah-mudahan para pemimpin bangsa dan negara serta para pemimpin umat semakin arif dalam menangani kasus-kasus yang berbau SARA tersebut, untuk tidak selalu menyudutkan kelompok-kelompok dalam tubuh umat Islam. Wallahu a'lam bishawab.