Selasa 07 Sep 2010 22:38 WIB

Meski Sentimen Negatif Menguat, Pelajar Muslim Masih Yakini Amerika

Laila Alawa (kanan) bersama Ameera Kaval (tengah) dan Maliha Ramhan (kiri)
Foto: THE BOSTON GLOBE
Laila Alawa (kanan) bersama Ameera Kaval (tengah) dan Maliha Ramhan (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, WELLESLEY--Laila Alawa, 19 tahun, bermain-main dengan ponselnya, berpura-pura tak mendengar seorang pria di dalam kereta yang berkata seraya menudingnya 'orang-orangnya' ingin membangun 'masjid ground zero'. Tumbuh besar di keluarga besar Muslim, di New York dan New Hampshire, ucapan seperti itu bukanlah barang langka.

Mahasiswa Wellesley itu kerap menuai pandangan tak bersahabat karena kerudung yang ia pakai. Kadang, ia pun harus bersabar dengan perlakuan kasar dari lingkungan masa kanak-kananya. Namun, musim panas tahun ini, ketika ia lebih kerap bepergian dari Wellesley College dan MIT, pertanyaan dan pandangan dari orang asing tentang di mana posisinya semakin sering, terutama terasa lebih tajam.

"Setiap hari saya ingin mengatakan seperti, "kami tidak akan melukai kalian," ujarnya dalam sebuah wawancara pekan lalu. "Kami adalah orang-orang normal yang juga merasakan takut dan memiliki aspirasi."

Alawa adalah satu dari ratusan pelajar muda Muslim yang kembali ke kampus kawasan Boston, di tengah ketegangan seputar rencana pendirian Islamic center dan masjid berjarak dua blok dari ground Zero, New York. Menyaksikan kontroversi kian menguat, banyak dari mereka merasa frustasi, beberapa bahkan waspada dengan kekerasan terhadap Muslim, seperti perusakan konstruksi masjid di Tennese dan penikaman seorang pengemudi taksi Muslim di New York.

Namun, saat mereka merayakan hari-hari terakhir Ramadhan dan memulai lagi tahun ajaran baru serta bertemu teman, para pelajar Muslim itu masih optimis bahwa Amerika akan menerima kemajemukan beragama. "Saya selalu berpikir tentang kebaikan kecil yang orang-orang lakukan pada saya," ujar Laila. Ketika ia mendengar pria itu menyerangnya dalam keretea, seorang wanita lebih tua di samping kursinya berbalik ke arahnya. Ia berkata untuk tak perlu mendengarkan ocehan si pria, semua akan baik-baik saja. "Saya berharap saya dapat membalas kebaikan kecil itu," ujarnya.

Sementara, mahasiswa Havard, Rashid Yashin, 20 tahun, mengatakan ia tak pernah mengalami diskriminasi bertumbuh di Scituate, di mana, sejauh ia tahu, dirinya adalah satu-satunya keluarga Muslim tinggal di sana. Ketika ia kembali ke kampus pada akhir Agustus dari perjalanan keliling dunia dengan grup acapelanya, the Din & Tonics, ia terkejut dengan berita yang ia lewatkan.

"Awalnya sangat mudah untuk marah begitu tahu kekerasan apa yang terjadi pada sesama pemeluk agama saya," ujarnya. "Namun begitu anda pikir lebih jauh, sangat tragis karena banyak orang yang tidak cukup paham tentang Islam sehingga mereka hanya berpikir di tataran opini bahwa Islam terkait terorisme, Islam adalah kekerasan, Islam terkait dengan penindasan terhadap wanita,'ujarnya.

Namun ia mengaku yakin bahwa semua permasalahan itu akan selesai. Alasan dia, warga Amerika pun telah mengatasi stigma terhadap Yahudi, Katholik dan grup-grup lain di abad lalu. "Saya yakin Amerika akan melakukan itu lagi," ujarnya.

Sedangkan Marea Siddiqi, 25 tahun, yang mengambil jurusan agama di program ekstensi Havard ia mengaku bahagia bahwa kelas-kelas yang mengajarkan Arab dan Islam dikemas pula untuk pelajar non-Muslim yang ingin belajar Islam. Namun, ia pun menuturkan tak lagi bisa nyaman shalat di area publik seperti yang biasa ia lakukan.

Suami Marea, Benjamin Thal, 27 tahun, menganjurkan Marea tak melakukan itu lantaran waspada tentang kisah supir takis yang ditikam setelah ditanya seorang penumpang apakah ia adalah Muslim.

Namun, ada pula yang menganggap bahwa retorika yang tayang di televisi kabel sangatlah berjarak dari kampus mereka, tempat yang mereka anggap nyaman dan kosmopolit. Syed Imaad, 22 tahun sambil mengangkat bahu hanya berkomentar, " Itu semua hanyalah politik," ujarnya.

Kembali lagi dengan Laila yang memiliki teman Amerra Keval dan Maliha Rahman, mengatakan mereka justru sangat dipenuhi dengan pengalaman baik. Mereka mengapresiasi kebijakan Wellesley yang menghadirkan mushola di lingkungan kampus, program pendidikan seperti pekan "Islamarama" untuk mengajarkan siswa tentang Islam. Bahkan ada pula gedung multikeyakinan untuk mendorong diskusi tentang perbedaan agama.

Maliha mengenang dengan tawa ketika teman sekamarnya, seorang non-Muslim, mempelajari wudhu yang ia lakukan di kamar mandi. "Bahkan hal kecil seperti itu menarik perhatian mereka," ujarnya. Ia mengatakan bahwa warga Amerika yang mengenal Muslim secara pribadi tidak akan merasa ketakutan.

Sementara Keval, dibesarkan di Califonria, Aman dan Jordan ketika ayahnya bertugas menjadi letnan kolonel di Angkatan Udara, mengaku masih ingat betul apa yang ia rasakan saat duduk di kelas pada 11 September. Ayahnya berada di Pentagon saat itu. "Peristiwa itu membuat saya takut," tuturnya.

Tapi Keval yang menginginkan menjadi diplomat bahkan menjadi kandidat presiden suatu saat--tetap bermimpi dan memandang cita-citanya mustahil. "Saya tidak tahu apakah saya terlalu naif atau kekanak-kanakan," ujarnya. "Saya masih memiliki keyakinan dengan Amerika dan orang-orangnya.

Lalu seorang mahasiswa neurobiologi tingkat akhir Havard, Farhan Murshed, 21 tahun, yang berupaya melihat sisi positif setiap hal mengatakan kontroversi seputar pendirian masjid tersebut dalam beberapa sangat inspiratif. Walikota New York, Michael Bloomberg, yang mendukung rencana tersebut meski ditentang keras telah menjadi pahlawan bagi Farhan.

"Saya sungguh ingin berterima kasih dan menjabat tangannya," ujarnya. "Mendengar ia berbicara, memberi inspirasi bahwa saya harus memiliki kontribusi, sesuatu untuk dibangun dan sesuatu untuk diberikan lagi," ujarnya.

sumber : Boston Globe
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement