Ahad 11 Jul 2010 02:47 WIB

Kegigihan Memerangi Animisme di Pedalaman

Red: irf
ilustrasi
Foto: hidayatullah
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Lelaki setengah baya terlihat duduk sambil serius mendengarkan paparan seorang ustadz. Pandanganya fokus ke depan. Khidmat. Setiap arahan yang disampaikan ustadz tersebut, didengarkannya penuh seksama. Seolah, tak ada satu pun kata yang lewat.

Lelaki itu tidak lain, Abdul Qadir Lenama. Qadir demikian akrab disapa, di siang awal Juli lalu sedang mengikuti acara “Temu Dai Terpencil Tingkat Nasional” yang digagas Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) PP. Muhammadiyah di masjid Al-Ikhlas, Yogyakarta.

Qadir berperawakan sedang dengan kulit berwarna hitam. Sorot matannya tajam. Tapi, setiap kata yang diutarakannya begitu dalam. Ada selaksa hikmah yang terkandung di dalamnya. Qadir adalah dai asal kec. Amanuban Timur, Kab. Timur Tengah Selatan, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ketertarikan Qadir menjadi dai timbul sejak kecil, 8 tahun. Waktu itu, sekitar 1967, Qadir kerap mendapati penduduk di desanya melakukan kegiatan animisme. Sebenarnya, kegiatan itu wajar. Pasalnya, mereka memang bukan Islam. Di desanya itu, dari jumlah penduduk sekitar 15 ribu jiwa, yang muslim hanya kira-kira 3.000 orang. Selebihnya, kalau nggak Kristen, pasti animisme. 

Di desanya, ada sejumlah gunung yang dikeramatkan dan dijadikan sebagai tempat sesembahan. Di antaranya, gunung Tumbes dan gunung Fatukopa. Gunung Fatukopa bentuknya seperti perahu. Biasanya, para penduduk setempat, jika datang musim panen, hasilnya akan disesajikan ke dua gunung tersebut. Kata Qadir,  hal itu dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil bumi yang mereka panen.

Caranya, para penduduk membuat tempat khusus di gunung tersebut. Biasanya dengan batu besar yang dianggap keramat. Batu itu lalu dijadikan tempat menaruh sesaji. Melihat hal itu, sebagai orang muslim, meski waktu itu masih terbilang kecil, tapi telah mengusik hati kecil Qadir. “MasaK, gunung dijadikan Tuhan,” ujar Qadir tak percaya. Sejak itulah, Qadir bercita-cita mengeluarkan mereka dari kubangan animisme itu dan mengajak mereka menuju jalan yang benar, Islam.

Tahun 1983, usai belajar agama di salah satu pesantren, Qadir memulai debut dakwahnya. Langkah pertama yang Qadir lakukan adalah mendekati kepala adat atau suku. “Maklum, di daerah yang cenderung primitif, kelapa suku berpengaruh besar bagi kaumnya” kata Qadir. Mendekat kepala suku pun ada caranya. Tidak sembarang mendekati. Sebab, jika salah, alih-alih dapat simpati, justru caci yang didapat.

Dengan pelan dan lemah lembut Qadir pun mendekati mereka. Kedekatan itu pun seolah sudah tidak ada batas lagi. Ibarat seperti saudara kandung. Tak ada sekat. Nah, setelah itu, baru Qadir mulai melancarkan dakwahnya. Qadir bilang bahwa kegiatan menyembah batu dengan memberi sesaji adalah bentuk peribadatan konservatif yang tidak masuk akal.

Apa yang disampaikan Qadir cukup jitu. Mereka jadi berpikir secara rasional. Lambat laut, mereka mulai mempertanyakan jalan lain menuju keperibatan yang lebih masuk akal dan elegan. Qadir pun kemudian menjelaskan apa itu Islam. Dan, ternyata, mereka banyak yang tertarik. Hingga segelintir dari mereka lambat laun mau masuk Islam. Selama sekitar 3 tahun setelah itu, angka mualaf naik drastis. Ada sekitar 500 orang yang telah masuk Islam.

Namun,  perjuangan Qadir mengajak mereka ke agama Islam harus berlomba dengan kristenisasi. Apalagi, kegiatan itu dibungkus dengan kedok kegiatan sosial. Seperti bagi-bagi sembako, duit dan lain sebagainya. Mereka adalah adalah orang-orang LSM internasional yang sengaja melakukan demikian. Qadir pun tak kalah semangat. Dia lebih kencang lagi dalam berdakwah.

Untuk memuluskan dakwahnya itu, Qadir menggunakan tehnik lain. Qadir memberangkatkan anak-anak penduduk ke Jawa untuk di sekolahkan di pesantren di Jawa yang dikenal banyak. “Nah, sepulang dari pesantren di Jawa, mereka nanti yang akan mendakwahi orangtua dan keluarga mereka masing-masing,” ujar dia. Qadir pun menjalin kerja sama dengan beberapa pesantren di pulau Jawa yang menampung anak-anak NTT tanpa dipungut biaya.

Menariknya, dalam berdakwah, Qadir tidak membawa embel-embel payung organisasi. Meski menurut Qadir yang juga termasuk anggota dari salah satu ormas terbesar di Indonesia, tapi dalam berdakwah dia hanya mengaku Islam saja.

sumber : hidayatullah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement