Rabu 18 Jan 2023 05:05 WIB

Ironi Dispensasi Nikah Karena Hamil Duluan, Salah Siapa?

Perzinaan di kalangan pelajar semakin merajalela.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Lida Puspaningtyas
Gedung Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu. Ada 564 perkara dispensasi nikah yang diputus hakim sepanjang 2022 di Kabupaten Indramayu.
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Gedung Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu. Ada 564 perkara dispensasi nikah yang diputus hakim sepanjang 2022 di Kabupaten Indramayu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Persatuan Islam (Persis) KH Dr Jeje Zaenudin prihatin atas fenomena tingginya pernikahan dini yang disetujui oleh pengadilan agama dengan memberikan dispensasi nikah, karena hamil duluan. Bahkan, yang lebih memprihatinkan menurut Jeje, itu terjadi di kalangan siswi tingkat SMP dan SMA.

"Seharusnya semua pihak melakukan upaya yang serius untuk mengatasi ini. Masalahnya bukan terletak di permintaan dispensasi nikah, tetapi justru ini adalah kemaksiatan atau pelanggaran syariat yang berat dalam tinjauan agama. Itu perzinaan yang merajalela di kalangan pelajar," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (17/1/2023).

Baca Juga

Menurutnya, pelajar merupakan generasi terdidik yang diharapkan menjadi para pemimpin, para tokoh, dan panutan masyarakat di masa depan. Namun jika sudah mencitrakan diri dengan perilaku yang nista dan tidak bermoral maka ini masalah besar bagi Indonesia sebagai bangsa yang berasaskan Pancasila.

"Pada Pancasila, agama menjadi pondasi utama kehidupan bernegara dan berbangsa," tambahnya.

Kiai Jeje berpendapat, ada banyak faktor mengapa masalah ini terjadi. Dari sekian faktor, yang paling utama adalah rapuhnya pengawasan, kontrol dan kepekaan orang tua. Sebab, tentu para pelajar tersebut tidak mungkin melakukan perbuatan menyimpang saat waktu sekolah.

"Ini menunjukkan betapa kurang pedulinya orang tua di luar jam belajar, padahal seharusnya orang tua menjalin komunikasi, mengawasi dan memberi perhatian kepada anak-anak mereka," ujarnya.

Fenomena tersebut, lanjut Kiai Jeje, juga menunjukkan semakin permisif dan kurang pedulinya lingkungan masyarakat di sekitar sekolah. Bahkan, bisa saja itu juga terjadi di kalangan pendidik itu sendiri karena merasa sudah cukup mentransfer ilmu hanya dengan menyampaikan pelajaran tanpa memberikan nuansa akhlak mulia dan pesan moral.

"Sehingga menyebabkan para pelajar hanya dijejali informasi dan pelajaran-pelajaran yang bersifat kecerdasan akadamik semata, tetapi menjadi rapuh tentang pendidikan moral dan karakter," tuturnya.

Faktor selanjutnya, menurut Kiai Jeje, ialah konten yang terdapat dalam media sosial hingga memengaruhi dan membentuk karakter para pelajar saat ini. Berbagai konten di media sosial dan penggunaan gadget yang berlebihan telah membentuk pola pikir yang rapuh dan buruk bukan hanya di lingkungan pelajar tetapi juga di kalangan pendidik.

"Akibatnya itu seolah menjadi hal yang lumrah dan biasa sehingga terjadilah perilaku pergaulan bebas, sampai akhirnya semua lapisan masyarakat secara pelan-pelan menganggap penyimpangan akhlak dan perilaku yang melanggar syariat adalah sesuatu yang normal," ungkapnya.

Ketika sudah seperti itu, dicarilah jalan pintas yang jauh dari upaya-upaya mendidik yang membuat jera dan memberikan sanksi yaitu menikahkannya. Ini dilakukan semata untuk menghindari aib atau sekadar formalitas untuk mengabsahkan dampak pergaulan bebas.

"Dan yang menanggungnya adalah Kementerian Agama, Pengadilan Agama, dan Kantor Urusan Agama," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement