Kamis 26 Oct 2017 16:00 WIB

Tinggalkan Kemewahan, Yahya Lebih Memilih Islam

Rep: Marniati/ Red: Agung Sasongko
Mualaf (ilustrasi).
Foto:
Muslim Jerman

Schroder memilih tinggal bersama ayah kandungnya di sebuah apartemen sederhana.  Apartemen ayahnya kecil, bahkan ia harus memanfaatkan dapur untuk tempat tinggal.

Ia mengatakan, bagi sebagian orang, kondisinya tersebut tampak seperti ia kehilangan segalanya. Namun, ia justru merasa begitu senang, seperti saat ia terbangun dari operasinya.

Hari berikutnya adalah hari pertama Ramadhan. Esoknya adalah hari pertama Schroder bersekolah di sekolah barunya. Sehari setelah itu, Yahya memutuskan untuk bersyahadat.

"Jadi, segala sesuatu yang baru bagi saya, apartemen baru, sekolah baru, dan pertama kalinya tanpa keluarga saya," katanya.

Saat berada di sekolah barunya, Schroder mendapat perlakuan diskriminatif karena ia Muslim. Teman-temannya mengejek keyakinan yang dianut Schroder.

Schroder dipanggil dengan sebutan teroris. Bahkan, beberapa orang menyebutnya gila dan tidak percaya bahwa ia adalah warga Jerman.

Seiring berjalannya waktu, setelah 10 bulan menjadi mualaf situasi mulai berubah. Schroder berdakwah ke banyak teman sejawatnya di sekolah.

Bahkan, ia telah memiliki tempat ibadah di sekolah walaupun ia hanya satu-satunya Muslim di sekolah tersebut.

Teman sekelas yang antipati dulu kini malah tertarik berdiskusi serius tentang Islam. Bagi mereka, Islam berbeda dengan agama-agama lainnya. 

Menurut Schroder, teman sekelasnya melihat Islam adalah agama yang keren. Umat Islam memiliki adab (sopan santun) dalam berinteraksi dengan orang lain.

Untuk tetap eksis, umat Islam bisa independen dan tidak bergabung dengan kelompok manapun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement