Selasa 26 May 2015 11:00 WIB

Kareem Abdul-Jabbar, Legenda NBA dalam Bayangan Malcom X (2-habis)

 Mantan pemain Los Angeles Laker Kareem Abdul-Jabbar membuka patung dirinya di depan Staples Center, Los Angeles, Jumat (16/11). (AP/Mark J. Terrill)
Mantan pemain Los Angeles Laker Kareem Abdul-Jabbar membuka patung dirinya di depan Staples Center, Los Angeles, Jumat (16/11). (AP/Mark J. Terrill)

REPUBLIKA.CO.ID,LOS ANGELES – Kareem Abdul-Jabbar pun mendapat bimbingan tentang agama Islam dari Hammas Abdul-Khaalis. Saat itu, Jabbar tergabung dengan klub basket Milwaukee Bucks. Barulah pada tahun 1971 atau ketika berusia  24 tahun, Jabbar mengucapkan kalimat syahadat dan mengganti namanya. 

“Beberapa fans menanyakan keputusanku karena nama baru itu susah diucapkan dan aneh di tengah kultur Amerika. Bahkan mereka mengira aku tergabung dalam kelompok pergerakan muslim Afrika di Amerika pimpinan Malcom X, Nation of Islam,” kata Jabbar pada Aljazirah.

Jabbar pun menjelaskan, pilihannya bukan karena ada alasan politis. Bahkan pada orang tuanya pun, ia harus menjelaskan panjang lebar karena mereka penganut Katolik yang taat.

“Semakin saya belajar sejarah, semakin saya tahu ajaran Kristiani menyingkirkan kelompok kulit hitam. Baru pada tahun 1965, Gereja Vatikan menyerukan bahwa perbudakan tidak disukai Tuhan dan akan merusak tatanan di masyarakat,” papar Jabbar.

Jabbar ternyata telah siap dengan segala risiko keputusannya berpindah agama. Ia siap kehilangan keluarga, teman, serta dukungan dari sekitarnya.

Satu hal yang ia yakini bahwa pilihan agama serta namanya menggambarkan perjuangannya melawan aksi perbudakan. Lantaran Alcindor sejatinya adalah nama keturunan pemilik budak di Prancis yang disandangkan pada nenek moyang Jabbar.

“Nenek moyangku adalah orang Yoruba dari Nigeria. Maka, dengan mempertahankan nama pemberian dari tuan pemilik budak sama saja tidak menghargai keturunanku,” tegas Jabbar.

Keyakinan Jabbar bertambah bahwa Islam mampu menuntunnya membuka lembaran baru kehidupan. Ia menuruti saran sang guru untuk menikahi seorang muslimah. Pada tahun 1973, ia pun mencari ilmu keislaman di Libya dan Saudi Arabia, terutama untuk menguasai bahasa Arab dan menghafal Alquran.

“Hingga kini, saya tak pernah menyesali keputusan menjadi seorang Muslim. Meski bila waktu bisa diputar kembali, aku tidak ingin belajar Islam di tengah publisitas. Namun, hikmahnya, saya secara tak langsung ikut mengampanyekan antiperbudakan dengan memperkenalkan sebuah agama Islam yang tak mengenal perbudakan manusia,” cetus Jabbar yang telah meraih enam kali penghargaan most valuable player ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement