Selasa 26 May 2015 10:43 WIB

Kareem Abdul-Jabbar, Legenda NBA dalam Bayangan Malcom X (1)

Legenda NBA, Kareem Abdul Jabbar.
Foto: Reuters
Legenda NBA, Kareem Abdul Jabbar.

REPUBLIKA.CO.ID,LOS ANGELES -- Pebasket tenar NBA Kareem Abdul-Jabbar mengirimkan sebuah surat elektronik yang ditujukan bagi para pembaca situs berita Aljazirah. Rival pebasket Michael Jordan ini menyiratkan kebanggaannya menjadi seorang mualaf.

“Bagi banyak orang, berpindah agama merupakan sebuah urusan pribadi. Namun, ketika dirimu menjadi seseorang yang terkenal, maka proses ini seakan-akan menjadi perhatian banyak orang dan semua mendebatkannya,” cetus pria bernama lahir Ferdinand Lew Alcindor ini.

Pria kelahiran New York, 16 April 1947 ini pun masih merasakan semacam gap antara dirinya dengan lingkungan tempat tinggalnya yang didominasi pemeluk Katolik yang taat. Meski sudah 40 tahun memeluk agama Islam, ujarnya, ia masih harus terus membuktikan bahwa patriotisme pada negara dan penghormatan pada leluhurnya tetap terpatri.

“Perubahan nama dari Lew ke Kareem pun sudah menunjukkan bukan sekadar perubahan seperti nama selebritis. Tapi, ada sebuah transformasi hati, pemikiran, dan jiwa di baliknya. Jika dulu nama Alcindor menyiratkan nilai-nilai kultur kulit putih, maka Kareem Abdul-Jabbar adalah manifestasi sejarah, kultur, dan tradisi dalam darah Afrikaku,” urainya.

Ia mengenal agama Islam saat kuliah di UCLA medio tahun 1966-1967. Saat itu, nama Jabbar sudah tenar sebagai pebasket nasional Amerika Serikat. Status tersebut sangat tak nyaman disandangnya.

“Status selebritas membuat saya canggung karena saat itu saya sangat muda dan tak siap dengan ekspos di arena olah raga,” ungkapnya.

Perasaan tak nyaman itulah yang kerap mengusiknya. Apalagi di masa itu, banyak gerakan sipil warga kulit hitam yang menuntut penghapusan diskriminasi ras. Sementara, dengan posisinya sebagai bintang lapangan AS, Jabbar selalu mendapat keistimewaan.

Memperjuangkan penghapusan diskriminasi ras pun saat itu tak tepat menjadi pilihannya. Lantaran ia tak pernah merasakannya. Sang ayah adalah seorang polisi dengan sejumlah aturan ketat seperti layaknya aturan ras mayoritas. Ia pun banyak bergaul dengan orang kulit putih.

Jabbar mengaku, di masa itu ia mengagumi keberanian pejuang ras kulit hitam Martin Luther King Jr. dari sejumlah pemberitaan tentang sang tokoh idola, ia menyadari bahwa ada yang tak beres dengan pemikiran orang AS terkait persamaan hak sebagai warga negara melalui sistem ras.

“Kesadaran itu kian terang setelah saya membaca ‘The Autobiography of Malcolm X’, saat itulah saya langsung tersadar telah menjadi korban rasisme yang telah mengakar,” tegas Jabbar.

Ia bisa berempati pada perjuangan Malcolm X berdakwah tentang Islam di tengah diskriminasi terhadap ras kulit hitam. Bagi Malcom, jelas Jabbar, agama Kristiani menjadi dasar bagi kaum kulit putih untuk memperbudak ras kulit hitam dan berwarna. Lantaran keluarga Malcom kerap diserang kelompok Ku Klux Klan yang ingin mengembalikan ajaran agama Puritan.

“Transformasi Malcolm X dari seorang pelaku kriminal menjadi pemimpin politik menginspirasiku untuk mencari jati diri. Ternyata Islam yang membawanya mendapatkan kebenaran sejati serta kekuatan untuk menegakkan kebenaran terhadap makna manusia tanpa melihat ras, saat itulah aku mulai mempelajari Alquran,” kata Jabbar.

Jabbar melalui sejumlah hambatan. Namun, ia menyemangati dirinya sendiri dengan perkataan dari Malcolm X bahwa seseorang yang pernah membuat kesalahan di masa lalu harus siap membayarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement