Ahad 10 May 2015 13:51 WIB

Alasan Saidah Memilih Islam

Mualaf tengah berdoa (ilustrasi)
Foto: onislam.net
Mualaf tengah berdoa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN --  Aku lahir pada tahun 1993, saat ini usiaku tepat 22 tahun. Usia yang cukup muda bagi seseorang yang menyandang gelar ibu. Ibu? Pembaca mungkin kaget mengapa aku menyebut diriku sebagai seorang ibu.

“Ya......apalah yang mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Toh aku juga yang dahulu meminta untuk segera menikah, karena itulah aku harus bertanggung jawab atas apa yang aku putuskan.” Menjadi seorang ibu di usia muda memang bukan pilihan utama bagiku. Dulu aku bercita-cita sekolah sampai ke perguruan tinggi karena aku yakin pendidikan akan membawaku pada khidupan yang lebih baik.

Tapi, ternyata takdir Allah berkata lain. Aku menikah dan kini memiliki anak, padahal dulu aku sempat didaftarkan ke perguruan tinggi untuk kuliah. Perguruan tinggi ilmu komputer adalah tempat dimana aku didaftarkan ketika itu.

Aku memilih manajemen informatika komputer sebagai jurusan yang aku ambil. Ini karena aku ingin menjadi seorang wanita karir yang bekerja di sebuah perusahaan, “Syukur-syukur bisa bekerja di BUMN ternama.”, niatku ketika itu.

Pembaca mungkin ingin tahu mengapa aku gagal kuliah, padahal waktu itu keinginan dan tekadku sudah bulat, tapi tetap saja aku gagal melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Ini adalah bagian yang cukup bersejarah bagiku, dan aku akan menceritakannya. “Baiklah, akan aku ceritakan.” Aku akan berbagi cerita sedikit tentang kegagalanku untuk kuliah dan kemudian dilanjutkan dengan mengapa aku masuk agama Islam.

Begini ceritanya:

Ujian Nasional sudah berlalu. Aku senang karena dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup baik. Berbekal nilai yang aku dapatkan itulah, aku yakin bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Akhirnya aku putuskan untuk berangkat ke kota medan dan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi ilmu komputer.

Berkas-berkas sudah rapiku persiapkan, menelepon kakak dan abang pun sudah, sebagai salah satu caraku untuk meminta dukungan agar aku bisa melanjutkan sekolah. “Maklum saja pembaca, kami bukan dari keluarga yang kaya, sehingga harus bahu membahu agar bisa menyekolahkan salah seorang di antara kami.”

Singkat cerita, pendaftaran pun tiba dan proses demi proses sudah aku lalui. Akan tetapi, aku masih tetap belum bisa melanjutkan tahap berikutnya karena terganjal biaya untuk membayar SPP. “Ya…waktu itu aku mendaftar ke perguruan tinggi swasta, jadi aku harus membayar SPP di awal karena sudah pasti lulus tanpa seleksi yang rumit seperti di perguruan tinggi negeri.” Memang aku baru melakukan pembayaran untuk pendaftaran semata, sementara uang kuliah harus di bayar di muka, ini tentunya membuatku bingung.

Aku yang sudah meninggalkan rumah dan memutuskan untuk tidak pulang untuk sementara waktu demi bisa kuliah hanya bisa melakukan aktifitas yang tidak begitu berarti di kota Medan. Situasi ini yang membuatku berpikir harus kembali menelepon ibu agar bisa membantu.

“Aku tidak mungkin menelepon kakak lagi, karena dia yang sudah memberikan uang saku sama aku untuk berangkat ke Medan dan mendaftar ke perguruan tinggi. Dia juga punya keluarga, aku gak boleh ngerepotin dia terus.”, pikirku.

Aku pun menghubungi ibu di kampung dengan harapan ibu bisa membantu aku untuk memberikan uang kuliah. “Mak, aku mau bayar kuliah. Uang SPP nya wajib dibayarkan di muka, kalau gak aku gak bisa kuliah mak.”, kataku kepada ibu. Sebagai seorang ibu, tentu ia sangat peduli terhadap anaknya, ia pun berkata kepadaku, “Mau bayar berapa kau Roulie, biar mamak nanti usaha cari duitnya dulu.”, kata ibu kepadaku.

“Sekitar empat juta mak, dari uang kuliah, sama nanti beli buku-buku paket juga jas almamaternya.”, kataku kepada ibu.

Aku tahu bahwa ibu mungkin saja tidak memiliki uang yang cukup untuk aku agar bisa kuliah. Biaya yang dibutuhkan sekitar empat juta rupiah pun aku rasa terlalu mahal, tapi untungnya bisa dicicil, sehingga mungkin bisa sedikit meringankan. Kami memang bukan berasal dari keluarga yang mampu.

Pembaca mungkin bisa memaklumi, “Ya....namanya orang kampung, mata pencaharian kami pun hanya sekedar bertani atau berkebun saja. Ini pun hanya cukup untuk kami bertahan hidup karena memang ladang dan kebun yang kami miliki tidak begitu luas, sehingga hasil garapan yang kami miliki pun tidak terlalu banyak.”

Setelah mengatakan, kepada ibu bahwa aku harus segera membayar SPP, ibu pun sempat bingung. Ia tidak tahu harus dapat uang dari mana. Waktu itu, ayah sedang sakit, sudah seminggu tidak pergi mengurus kebun, jadi tidak ada hasil panen yang bisa mereka jual untuk biaya kuliahku. Ibu pun berupaya dengan sekuat tenaga agar bisa mendapatkan uang yang aku butuhkan.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, dalam waktu dua minggu ibu berhasil mengumpulkan uang yang aku butuhkan meski jumlahnya hanya sekitar satu jutaan saja. Entah bagaimana caranya, tapi waktu itu aku berharap jangan sampai ibu berhutang kepada orang lain, mungkin dengan menjual perhiasan yang ia miliki agar aku bisa kuliah.

Apalagi ayah sempat berkata kepada ibu ketika ibu mengatakan bahwa aku butuh uang untuk membayar uang kuliah. Katanya; “Ah gak usah, bukannya serius dia itu mau kuliah! Nanti Cuma mau ngambil duitmu aja dia itu. Yang maen-maen aja kerjanya dia di Medan itu!.”, kata ayah yang belakangan aku tahu dan membuat hatiku nelangsa.

Dana yang hanya sekitar satu jutaan itu tentu tidak cukup. Meski uang kuliah bisa dicicil, tapi tidak dengan biaya kos dan kehidupan sehari-hari. Akhirnya, ibu menghubungi kakakku yang lebih dahulu memeluk Islam. Ibu meminta bantuan kepadanya supaya membantu aku yang akan masuk kuliah.

“Fatimah.....tolong bantu dulu adik kau itu si Roulie, dia mau kuliah gak ada uang buat bayar SPPnya. Katanya harus dibayar di awal, kalok gak dibayar gak boleh masuk katanya.”, kata ibu kepada kakakku yang telah mengganti namanya menjadi Fatimah semenjak ia memutuskan memeluk Islam.

Tanpa berpikir panjang, kakak pun kemudian mengirimkan uang kepadaku untuk biaya kuliah di Medan. Sebenarnya masih banyak lagi kakak dan abangku yang bisa membantu aku untuk membayar uang kuliah, tapi entah mengapa mereka tidak membantu. Mungkin karena ekonomi mereka juga sedang sulit atau ada kebutuhan yang harus mereka punuhi, sehingga sulit bagi mereka untuk membantuku. Akan tetapi, aku tetap berbaik sangka kepada mereka.

“Semoga Allah memudahkan rezeki mereka di dunia ini agar bisa menghidupi keluarga mereka masing-masing.”, pintaku.

Kak Fatimah-lah yang sejak awal membantuku untuk kuliah. Dari mulai memberangkatkan aku ke Medan, pendaftaran, sampai pada saat aku membutuhkan uang untuk membayar uang kuliah, dialah yang selalu membantu. Bukan karena ia memiliki banyak uang, tapi kepeduliannya kepadakulah yang membuat aku bisa sampai di kota Medan.

Mungkin ini juga bagian dari dakwah yang dilakukan olehnya kepadaku karena belakangan aku mengenal Islam pun atas dialog yang aku lakukan dengannya di kemudian hari.

Singkat cerita, kak Fatimah hanya mampu memberikan uang sebesar lima ratus ribu kepadaku. Uangnya telah habis untuk keluarganya dan sebagian untuk memberangkatkan aku dari desa ke kota. “Apalah mau dikata, kak Fatimah cuma ibu rumah tangga yang mengandalkan gaji dari suami. Tentu ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membantuku lagi.”, pikirku dalam hati dengan perasaan yang sedih dan bingung haru berbuat apa.

Hal lain yang membuatku semakin sedih adalah ketika mendengar ibu tidak jadi mengirimkan uangnya kepadaku. Ternyata ibu mendengarkan apa yang bapak bilang. Ia mendengar dan menuruti perkataan bapak yang tidak mendukung dan malah mengatakan nanti akan menghabiskan uang ibu karena dianggap tidak serius dengan niatku untuk kuliah, akhirnya aku pun tidak dapat kuliah.

Kekecewaan yang sangat mendalam aku alami ketika itu. Aku tidak dapat kuliah karena ayahku sendiri yang tidak mau memperjuangkan aku. Aku pun sudah putus asa; “Kalau tidak kuliah mau ngapain, kerja? Mau kerja apa? Ujung-ujungnya juga nikah, ya udah kalau gitu aku nikah aja sekarang.”, pikirku dalam hati.

Kebetulan pada waktu itu aku sedang dekat dengan seorang laki-laki yang belakangan menjadi suamiku. Dialah yang membantuku saat dalam perantauan di kota Medan. Maklum saja, aku tidak memiliki keluarga di Medan, yang ada hanya suamiku yang berasal dari kampung yang sama yang membantuku untuk di Medan.

Suamiku yang membantu mencarikan tempat kos-kosan. Membelikan makanan, pulsa, dan perhatian yang cukup kepadaku. Meski ia hanya serorang buruh bangunan, tapi rasa tanggung jawabnya membuatku merasa ia adalah lelaki yang baik dan berkepribadian yang mulia. Perhatian yang ia berikan lambat laun membuatku tersentuh dan aku pun mulai jatuh hati padanya.

Persoalan yang menimpaku, sehingga membuat aku tidak dapat kuliah kemudian perlahan mulai tidak aku ambil pusing. Aku pun sedikit demi sedikit melupakan keinginanku untuk bisa kuliah. “Untung saja waktu itu ada abang, kalau tidak mungkin aku sudah stress bukan main.”, kataku.

Kami pun menjalani hubungan cinta kasih yang cukup singkat, hanya sekitar tiga bulan saja. Suamiku yang berusia lebih tua dariku merasa dirinya sudah siap dan memiliki kemampuan untuk menikah kemudian mengajaku menikah. Tanpa berpikir panjang, aku mau saja diajaknya untuk menikah.

“Mau gimana lagi, kuliah tidak, kerja tidak, pilihan yang memungkinkan ya nikah. Toh orang tua tidak tidak mendukung buat sekolah, ya…sudahlah.”, pikirku. Singkat cerita, akhirnya, aku pun menikah dengan suamiku dan sekarang telah memiliki dua orang anak.

Awal pernikahan berlangsung dengan baik, tidak ada sesuatu yang mengganjal apalagi membuat keretakan dalam rumah tangga. Semuanya berjalan sebagaimana keluarga kecil yang baru dibina, memiliki anak, tidak satu, tapi dua orang anak. Ya! Hingga awal anak kedua lahir, semuanya berjalan dengan baik tanpa hal-hal yang dapat menghancurkan rumah tangga.

Barulah ketika empat tahun usia perkawinanku aku melihat suamiku sudah tidak lagi seperti dulu. Ia mulai berubah, terlihat dari tingkah lakunya yang sangat membuatku kecewa. Aku dan anakku pun mengalami penderitaan yang cukup memilukan. Aku yang dahulu mendambakan jalanin kasih keluarga dengan penuh rasa sayang harus menelan kenyataan pahit yang sangat sakit kurasa. Bersambung..

sumber : Pesantren Mualaf Annaba Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement