Ahad 10 May 2015 10:25 WIB

Awal Mula Saidah Memeluk Islam

Mualaf (ilustrasi)
Foto: Onislam
Mualaf (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,TANGERANG SELATAN -- Suasana yang begitu indah, sejuk dan jauh dari keramaian kota, aku menulis sebuah cerita yang mungkin dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca atau mungkin hanya sekedar untuk berbagi pengalaman melalui “curhatan hati” yang aku lakukan ini.

Sebelum aku menceritakan mengenai kisah perjalananku dalam menemukan Islam, perkenankanlah aku memperkenalkan diri kepada pembaca. Namaku adalah Saidah Raoulie Boru Parapat. Mendengar namanya saja mungkin pembaca sudah dapat mengetahui dari mana aku berasal.

U

Ya! Aku berasal dari Tanah Batak yang terletak di wilayah Barat Indonesia, tepatnya di Sumatera Utara. Boru Parapat artinya adalah marga Parapat, marga yang harus aku sandang sama seperti yang lainnya yang harus menyandang marga bagi setiap orang yang mengaku berdarah Batak.

Aku, anak ke lima dari delapan bersaudara. Berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan tidak memiliki keyakinan yang terlalu kuat dalam beragama. Ibu hanya seorang ibu rumah tangga yang setiap hari mengurusi rumah, sedangkan ayah seorang yang kesehariannya mengurusi kebun kami yang tidak terlalu luas.

Keluarga kami memang bukanlah dari keluarga yang taat. Tapi tentunya aku berpindah agama bukan tanpa analisis dan mempelajari lebih dalam tentang Islam serta membandingkannya dengan Kristen melainkan justru aku mempelajari dan membandingkannya, mengenai hal ini akan aku ceritakan lebih lanjut pada bab selanjutnya.

Sekarang aku akan lebih dahulu menceritakan bagaimana ketidaktaatan beragama bisa terjadi pada keluargaku, khususnya kedua orang tuaku. Ketidaktaatan keluarga kami dalam beragama bukan semata-mata karena faktor ekonomi, melainkan faktor sosial, tepatnya dengan pihak gereja.

Gereja yang didirikan di kampung halaman kami yang seyogyanya menjadi tempat beribadah masyarakat Kristen di sana dan menjadi wadah pemersatu jemaat, namun kenyataannya gereja tersebut dikuasai oleh satu orang saja. Ini dikarenakan melalui ialah berdiri gereja tersebut dan di atas tanah miliknya pula, sehingga ia merasa dominan dan menguasai gereja tempat kami beribadah.

Bermula dari sikap pendiri gereja yang seperti itulah, maka beberapa orang jemaat, termasuk keluargaku kurang begitu taat beribadah dan melakukan ritual-ritual di gereja. Ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan sikap salah seorang pendiri gereja tersebut yang angkuh dan menganggap gereja yang berdiri di atas tanahnya itu adalah miliknya, tentu perasaan memiliki tersebut sangat membuatnya angkuh dan sombong, bahkan ia tak ragu menegur orang yang tidak ia sukai ketika masuk ke dalam gereja, termasuk ayahku.

Ayah memang cukup kritis mengkritik kelakuan pendiri gereja yang menganggap gereja tersebut sebagai miliknya. Kritik yang diberikan oleh ayah juga mendapat dukungan dari beberapa orang jemaat, akan tetapi mereka kalah jumlah. Lambat laun ayah beserta beberapa orang jemaat yang juga melakukan kritik terhadap salah seorang pendiri gereja tersebut mulai terpinggirkan dari gereja.

Apalagi antara ayah dengan pendiri gereja sempat berkelahi, sehingga semakin memperkeruh hubungannya dengan gereja. Sejak peristiwa perkelahian itulah kami sekeluarga jadi tidak begitu dekat dengan gereja, padahal gereja tersebut adalah tempat ibadah satu-satunya bagi umat Kristen di kampung kami.

Sedangkan bila berangkat ke gereja yang lain dibutuhkan waktu yang cukup lama dan belum tentu dapat diterima oleh mereka karena dalam sistem yang ada pada gereja tidak seperti di mesjid yang bisa masuk siapa saja tanpa membedakan jemaat dan penduduk dari mana. Inilah yang menyebabkan iman Kristen orang tua dan kami sekeluarga tidak terlalu kuat.

Ibadah-ibadah yang dilakukan oleh kami sekeluarga akhirnya hanya yang bersifat umum saja, seperti natal dan paskah. Bukan karena ketaatan terhadap agama, tetapi justru karena lingkungan sekitar beragama Kristen, jadi mau tidak mau kami juga memperingati hari besar agama Kristen, tapi sekali lagi, bukan karena taat, melainkan karena ikut-ikutan. Sedangkan kebaktian minggu belum tentu diikuti oleh ayah dan ibu, juga beberapa orang di antara anaknya.

Budaya batak yang ada pada kampung kami pun sedikit berbeda dengan orang-orang yang ada di perkotaan. Kebanyakan di antara para lelaki menghabiskan waktunya di warung-warung sambil minum tuak, minuman memabukkan yang berasal dari tetesan sari pelepah buah aren yang dipotong, dan bermain gitar. Sedangkan para wanita justru berladang dan ada juga yang mengurus anak di rumah.

Hal ini juga yang menyebabkan keluarga kami tidak memiliki keyakinan yang kuat terhadap agama, bahkan sekarang kami memiliki agama yang berbeda antara satu dengan yang lain. Begitulah cerita singkat mengapa kami tidak taat dalam beragama Kristen. Bersambung..

sumber : Pesantren Mualaf Annaba Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement