REPUBLIKA.CO.ID, Pada suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada salah seorang sahabatnya, “Hai Abu Munzir, Ayat manakah dari Kitabullah yang teragung?”
Sahabat itu menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Nabi SAW mengulangi pertanyaannya, “Abu Munzir, ayat manakah dari Kitabullah yang teragung?”
Ia menjawab, “Allah tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Hidup lagi Mahapengatur.” (QS. Al-Baqarah: 255).
Rasulullah SAW pun menepuk dadanya, dan dengan rasa bangga yang tecermin di wajahnya, beliau bersabda, “Hai Abu Munzir, selamat bagimu atas ilmu yang kau capai.”
Abu Munzir yang mendapat ucapan selamat dari Rasulullah SAW yang mulia atas ilmu dan pengertian yang dikaruniakan Allah kepadanya itu, tiada lain adalah Ubay bin Ka’ab, seorang sahabat yang mulia.
Ia adalah seorang warga Anshar dari suku Khazraj, dan ikut mengambil bagian dalam Baiat Aqabah, Perang Badar dan peperangan-peperangan penting lainnya. Ia mencapai kedudukan tinggi dan derajat mulia di kalangan Muslimin angkatan pertama, hingga Amirul Mukminin Umar RA sendiri pernah mengatakan tentang dirinya, “Ubay adalah pemimpin Kaum Muslimin.”
Ubai bin Ka’ab RA merupakan salah seorang penulis dari beberapa orang penulis wahyu dan penulis-penulis surat. Begitu pun dalam menghafal Alquranul Karim, membaca dan memahami ayat-ayatnya, ia termasuk golongan terkemuka.
Pada suatu hari, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Hai Ubay bin Ka’ab, aku dititahkan untuk menyampaikan Alquran padamu.” Ubay maklum bahwa Rasulullah SAW hanya menerima perintah-perintah itu dari wahyu.
Dengan harap-harap cemas ia menanyakan kepada Rasulullah Saw, ”Wahai Rasulullah, ibu-bapakku menjadi tebusan anda! Apakah kepada anda disebut namaku?”
Rasulullah SAW menjawab, “Benar! Namamu dan turunanmu di tingkat tertinggi.”
Seorang Muslim yang mencapai kedudukan seperti ini di hati Nabi SAW pastilah ia seorang Muslim yang mulia. Selama tahun-tahun persahabatan, yaitu ketika Ubay bin Ka’ab RA selalu berdekatan dengan Nabi SAW, tak putus-putusnya ia mereguk dari telaganya yang dalam itu airnya yang manis.
Setelah berpulangnya Rasulullah SAW, Ubay bin Ka’ab menepati janjinya dengan tekun dan setia, baik dalam beribadah, dalam keteguhan beragama dan keluhuran budi.
Di samping itu tiada henti-hentinya ia menjadi pengawas bagi kaumnya. Diingatkannya mereka akan masa-masa Rasulullah SAW masih hidup, diperingatkan keteguhan iman mereka, sifat zuhud, perangai dan budi pekerti mereka.