Jumat 28 Jul 2017 16:30 WIB

Melacak Sejarah Filantropi

Filantropi Islam (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Filantropi Islam (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Islam mengajarkan untuk menjaga solidaritas antarumat dan membantu saudara yang sedang membutuhkan. Di dalam harta yang dimiliki oleh seorang Muslim, terdapat harta orang lain sebagai wujud solidaritas kepada fakir miskin.

Melacak akar sejarah filantropi Islam tentunya tidak terpisah dari tuntunan Islami itu sendiri. Antara lain, surah al-Baqarah ayat 268 atau juga ayat ke-261. Ayat yang kedua ini berbunyi:

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”

Mengutip laman resmi Bappenas, kata filantropi (dalam bahasa inggris philanthropy) secara etimologis berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang artinya cinta dan anthropos yang berarti manusia. Filantropi sendiri kemudian bermakna mencintai sesama manusia, dalam artian peduli pada kondisi manusia yang lainnya dan menyayanginya, sehingga kita bertanggung jawab jika orang lain kondisinya tidak sebaik kita.

Wujud dari filantropi, misalnya, adalah perilaku kedermawanan dan membangun relasi sosial yang baik antara kaya dan miskin. Inti dari kegiatan filantropi adalah untuk mendorong terciptanya kemaslahatan, public good, dan kesejahteraan bersama.

Menilik dari sejarahnya, sikap solidaritas untuk mencintai sesama manusia ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Awalnya merupakan sebuah sikap yang erat kaitannya dengan semangat kebebasan manusia.

Dalam cerita dewa-dewa Yunani, dikisahkan bahwa tirani dewa tertinggi Yunani, yaitu Zeus terus membelenggu manusia dalam kondisi bodoh, selalu dirundung ketakutan, kegelapan, dan tak berdaya.

Hingga akhirnya, seorang dewa bernama Promotheus pun turun tangan menanggapi kondisi yang terjadi. Ia menyelamatkan manusia dan memberi mereka api dan harapan agar terlepas dari kondisi yang mengenaskan tersebut.

Kecintaan Promotheus pada manusia ini membuat awal munculnya sebuah rasa solidaritas untuk menolong pihak lain yang sedang berada dalam kondisi susah. Semangat perbaikan peradaban manusia dan menolongnya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi pun terus lestari hingga kini.

Ungkapan cinta kasih kepada sesama manusia ini pun ditafsirkan meluas dalam kamus Webster. Di sana dijelaskan bahwa cara mengungkapkan rasa cinta kasih ini tidak melulu dalam bentuk uang dan barang, namun bisa juga melalui jasa atau sikap nyata lain, seperti menjadi relawan, yang bisa meningkatkan rasa cinta pada sesama atas nama kemanusiaan.

Sayangnya, sikap filantropi ini tak banyak dijadikan acuan utama dalam peradaban besar umat manusia. Sebagian besar peradaban dengan sistem kerajaan tak banyak yang memperhatikan kehidupan rakyat kecil.

Justru, rakyat diperah mati-matian agar membayar upeti kepada penguasa. Dalam tatanan Kerajaan Inggris Kuno, misalnya, para pemilik tanah pun bersikap lebih kejam dengan bukan hanya merampas harta, melainkan juga merampas para gadis terbaik sebagai pendamping para pemilik tanah yang beristri banyak.

Kerajaan Prancis pun pernah bersikap demikian. Raja Louis XVI tak pernah memedulikan kebutuhan rakyatnya. Justru, ia malah banyak mengadakan pesta pora yang meriah, membangun istana yang indah dengan gaun-gaun mahal, dan makanan yang sangat lezat. Berbanding terbalik dengan kondisi rakyatnya yang selalu kelaparan dan penjara disesaki oleh para pencuri sepotong roti basi untuk mengisi perutnya.

Sikap kapitalisme seperti dalam dua contoh kerajaan ini dan banyak kerajaan lainnya akhirnya tumbang karena keberanian rakyatnya untuk memberontak dan mengubah sistem agar tidak ada lagi ketimpangan kondisi antara raja, bangsawan, para pemilik tanah, yang sangat jauh dengan kondisi rakyat kecil, dan kaum pekerja.

Sikap filantropi ini sudah ada sejak zaman dulu sebenarnya. Sebagai contoh adalah ketika para penguasa Mesir Kuno menetapkan tanah untuk dimanfaatkan para pemuka agama. Sedangkan, orang-orang Yunani dan Romawi Kuno menyumbangkan harta benda mereka untuk perpustakaan dan pendidikan.

Disarikan dari Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement