REPUBLIKA.CO.ID,Pasang surut hubungan Israel-Indonesia telah diuraikan Greg Barton dan Colin Rubenstein dalam “Indonesia And Israel: A Relationship In Waiting”, Jewish Political Studies Review 17:1-2 (Spring 2005). Sejak Orde Lama, Indonesia telah memiliki ketegasan untuk menolak hubungan diplomasi dengan Israel. Sukarno mengadopsi kebijakan anti-Israel yang kuat sebagai bagian dari pandangan anti-kolonial.
Ketegasan Indonesia untuk menolak hubungan diplomatik dengan Israel telah dimulai sejak republik ini masih berusia sangat muda. Sejarah menunjukkan, munculnya negara Muslim terbesar di dunia ini justru disambut antusias di Yerussalem.
Pada Desember 1949, Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben Gurion mengirim telegram kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berisi ucapan selamat atas penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Pada Januari 1950, Menteri Luar Negeri Israel, Moshe Sharett menegaskan lewat telegram kepada Mohammad Hatta bahwa Israel telah memberikan pengakuan penuh kepada Indonesia.
Hatta menanggapi Sharett dan Ben Gurion dengan ucapan terima kasih, tetapi tidak memberikan timbal balik berupa pengakuan diplomatik. Merasakan keengganan Indonesia, Sharett menulis surat kepada Hatta soal rencana pengiriman misi persahabatan ke Indonesia. Rencana itu direspons dengan sopan oleh Hatta pada Mei 1950, tetapi Wakil Presiden ini menyarankan misi tersebut sebaiknya ditunda sampai waktu yang tidak dapat ditentukan.
Penolakan Indonesia terhadap Israel semakin jelas dengan menguatnya watak anti-imperialisme pemerintah Sukarno. "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel," kata Sukarno dalam pidato 1962.
Indikasi awal kebijakan anti-Israel muncul pada Juni 1952, ketika pers Arab dan Pakistan mengutip sebuah berita dari kantor berita Antara. Mereka melaporkan, pemerintah Indonesia tidak akan mengakui Israel karena mayoritas penduduk Indonesia Muslim. Indonesia juga mempertimbangkan dukungan negara-negara Arab semasa perjuangan kemerdekaan, yang notabene telah bersatu sikap menolak Israel.
Hubungan kedua negara semakin tidak bersahabat setelah itu. Pada November 1953, Indonesia menghentikan pemberian visa masuk bagi warga negara Israel. Awalnya hanya untuk orang-orang dengan paspor diplomatik, tapi kemudian berlaku untuk semua warga negara Israel.
Sukarno juga menolak keikutsertaan Israel dalam Konferensi Asia-Afrika yang digelar di Bandung, April 1955. Indonesia dan Pakistan tegas menolak partisipasi Israel, bahkan mampu meyakinkan pemerintah Myanmar, India, dan Sri Lanka yang awalnya mendukung keikutsertaan negara itu. Sebaliknya, KAA 1955 itu dihadiri pejuang Palestina, Yasser Arafat.
Secara umum, ada berbagai deklarasi anti-Israel oleh pemimpin Indonesia pada masa pemerintahan Sukarno. Indonesia juga terlibat penuh dalam deklarasi anti-Israel di PBB dan forum internasional lain. Dalam pidato HUT RI ke-21, Sukarno kembali menegaskan, “Kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!”
Sikap monumental pun ditunjukkan oleh tim nasional Indonesia. Pada 1957, Timnas Indonesia tinggal selangkah lagi lolos penyisihan zona Asia untuk melenggang di Piala Dunia 1958 di Swedia. Namun, Timnas memilih tidak tampil di Piala Dunia ketimbang beradu di satu lapangan dengan Israel.
Tidak hanya Indonesia, sejumlah negara lain yang diberi kesempatan oleh FIFA untuk menggantikan Indonesia juga menolak. Antara lain, Sudan, Turki, dan Belgia. Pada 1962, keikutsertaan Israel dalam Asian Games 1962 di Jakarta juga ditolak dengan lantang oleh Sukarno.