Kamis 17 Sep 2015 11:00 WIB

Meneladani Kepemimpinan Umar bin Khattab di Masa Paceklik

Rep: c 38/ Red: Indah Wulandari
Kemarau ekstrem (ilustrasi).
Foto: cctv america
Kemarau ekstrem (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,MADINAH -- Kebijakan Amirul Mukminin Umar bin Khattab dalam menghadapi musim paceklik panjang terbukti teruji.

Ia mengelola bantuan telah terorganisir dengan baik. Sesampainya bantuan di Madinah, Umar menunjuk beberapa orang tepercaya untuk melakukan distribusi. Ia sendiri ikut turun membagikan makanan bagi penduduk Madinah.

Setiap berapa hari sekali, mereka menyembelih hewan untuk dimakan bersama dengan orang banyak. Umar pun turut mengotori tangan untuk mengolah adonan roti bercampur zaitun. Setiap malam, para pejabat Umar berkumpul dan melaporkan segala sesuatu yang mereka alami siang harinya.

“Andaikata untuk meringankan beban rakyat saya harus membawakan perlengkapan kepada masing-masing keluarga di setiap rumah, lalu mereka saling membagi makanan sampai Allah memberi kelapangan, akan saya lakukan,” tegas Umar.

Kelaparan berkepanjangan menimbulkan bencana susulan berupa penyakit dan kematian. Kendati Umar telah berupaya maksimal, banyak penduduk Arab sakit dan mati. Selama sembilan bulan itu, kaum Muslim merasakan ujian berat.

Tak hanya mengharap bantuan dari kaum Muslim, Amirul Mukminin mengajak rakyat melakukan shalat istisqa untuk meminta hujan. Sekian waktu, Allah mengabulkan doa mereka. Gerimis pertama menghampiri Semenanjung Arab. Tanah basah, pohon bersemi, dan dedaunan menghijau. Kaum Muslim terlepas dari bencana.

Umar telah menetapkan disiplin diri yang sangat keras pada diri sendiri sepanjang musim paceklik. Ia menurunkan taraf hidupnya ke tingkat hidup orang-orang fakir miskin yang hanya makan seadanya.

Umar duduk bersama ribuan orang yang kelaparan dan makan bersama mereka. Ia tidak mau mengistimewakan diri.

Lewat tindakan itu, Umar bin Khattab membuktikan dua hal. Pertama, ia turut merasakan penderitaan rakyatnya sehingga terdorong untuk memperjuangkan nasib mereka.

“Bagaimana saya akan dapat memerhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan.” Jawaban itu terucap dari seorang penguasa besar.

Kedua, tindakan Umar menentramkan hati rakyat bahwa Amirul Mukminin ada bersama mereka di tengah suka-duka.

Sebagaimana sabda Nabi, “Tidaklah seorang pemimpin mengurusi rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyat, kecuali Allah mengharamkan baginya surga” (HR. Bukhari). Karena itu, sepayah apapun penderitaan rakyat, tidak ada tanda-tanda pemberontakan menggeliat di wilayah kekuasaannya.

Setelah masa paceklik panjang terlewati, Umar berpikir, orang-orang Arab pedalaman yang datang ke Madinah sudah tidak perlu lagi berada di sana.

Kepada mereka, Umar pun memerintahkan, “Kembalilah kalian ke daerah asal masing-masing!” Terselip kekhawatiran di benak Umar, jika para pengungsi itu menetap di Madinah lantaran sudah merasa nyaman. Hal itu akan merusak tatanan demografi masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement