Sabtu 01 Aug 2015 18:36 WIB

Tetaplah Lapar

Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk sering-sering merasakan lapar dan dahaga karena dapat mengetuk pintu surga.
Foto: Solangelage.bs.com
Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk sering-sering merasakan lapar dan dahaga karena dapat mengetuk pintu surga.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung, MA

Sewaktu Bulan Suci Ramadhan pergi, seakan ia berpesan kepada semua alumni-nya agar memegang teguh janji (adab) sebagai ikatan persahabatan sejati yang pernah terjalin.

Paling tidak, ada empat pesan penting yang ia titipkan kepada kita jika betul merasa sedih saat kepergiannya dan rindu menanti kedatangannya. 

Pertama; tetaplah lapar. Lapar memang sengsara membawa nikmat.  wa maal ladz-dzatu illa ba’da ta’bi (tiada kelezatan kecuali setelah kepayahan”).

Apa maknanya ? Yakni meneruskan kebiasaan tak makan di siang hari, dengan menjalankan puasa sunnah, seperti enam hari di bulan syawal, puasa Senin-Kamis, apalagi puasa Nabi Daus As, sehari lapar sehari kenyang.

Kenapa lapar itu penting dijaga, karena hanya orang lapar yang mengerti arti sesuap nasi. Jika makan tak pernah bersisa walau sebutir.

Makan yang nikmat adalah ketika lapar. Tetaplah lapar, karena lapar membuat badan sehat dan enteng, pikiran cerdas dan hati lembut serta mudah berempati kepada derita sesama, lalu senang bersedekah kepada yatim dan dhuafa. 

Kedua; Tetaplah haus. Semakna dengan lapar, ia juga derita. Tetapi melahirkan kelezatan. Minum yang nikmat ketika haus, maka berhaus-hauslah di siang hari (puasa), agar enak minum di sore hati (berbuka).

Ketika air banyak berlimpah, kita sering kali membuang-buangnya seakan tak berdosa, padahal itu mubazzir (QS.17:26-27).

Lalu, kapan air baru berharga? Ketika kehausan atau kekeringan melanda karena kemarau panjang seperti yang terjadi saat ini. Orang yang haus akan menghargai segelas air dan jika ia minum tak bersisa walau setetes.

Orang puasa akan menghargai, menjaga kebersihan dan kejernihannya. Mereka tidak akan mengotori, mencemari atau merusak lingkungan. Mereka pun  tak tahan melihat derita orang yang dahaga, binatang kehausan atau tanaman yang hampir mati kepanasan. 

Ketiga; Tetaplah bodoh. Orang yang merasa bodoh tak berprasangka macam-macam kepada orang lain. Mereka polos menjalani kehidupan, dan sadar akan kekurangan dirinya lalu terus belajar (QS.58:11).

Orang yang merasa bodoh itu pertanda tahu bahwa ia tidak tahu (rajulun yadri annahu laa yadri). Tapi, orang yang merasa tahu pertanda tidak tahu ia tidak tahu (rajulun laa yadri annahu laa yadri). Orang yang merasa tahu semua hal sebenarnya tidak apa-apa dan itu kesombongan.

Meski sudah banyak belajar, mengkaji, meneliti, mendengar tausiah, tapi tetaplah merasa bodoh (murid). Tanda orang berilmu itu menyadari yang diketahuinya lebih sedikit daripada yang tidak diketahuinya (rajulun yadri annahu yadri). Yang paling berbahaya adalah orang dungu, yakni tidak tahu bahwa ia tidak tahu (rajulun laa yadri annahu laa yadri).

Keempat; Tetaplah rendah hati  (tawadhu’). Walaupun sudah banyak ilmu yang dipahamkan, banyak sedekah yang diterbarkan, banyak kearifan yang didapatkan, kenikmatan spritual yang dirasakan, namun tetaplah rendah hati.

Penyakit orang kaya dan orang berilmu itu keangkuhan. Hanya sedikit orang kaya rendah hati, yakni yang dermawan. Sedikit pula orang berilmu rendah hati, yakni yang saleh. Allah SWT benci kepada orang kaya sombong, tapi lebih benci melihat orang miskin yang sombong.

Allah SWT juga tak suka orang berlimu sombong, namun lebih tak suka kepada orang bodoh yang sombong. Setinggi apapun pun pangkat, sebanyak apapun harta, seluas apapun ilmu, sehebat apapun pencapaian, namun tetaplah rendah hati. Karena, keangkuhan adalah awal dari setiap kejatuhan.

Pesan-pesan ini saling berkaitan satu sama lain. Keempatnya adalah kesalehan indvidual yang berbuah pada kesalehan sosial. Itulah mukmin sejati, yakni al-Muttaqiin (orang-orang bertakwa). Allahu a’lam bish-shawab. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement