REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Presiden Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat di tengah kekhawatiran serangan anti-Muslim di beberapa kota yang berpotensi dapat menyebar, Rabu (7/3).
Perincian keputusan darurat tersebut segera diumumkan, dan tidak jelas bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan di negara kepulauan Asia Selatan itu. Ketegangan umat Budha-Muslim berkobar dalam beberapa tahun terakhir dengan pertumbuhan organisasi ekstremis Buddhis.
Pemerintah memerintahkan pemblokiran semua jaringan media sosial agar informasi kekerasan tidak tersebar. Sebuah perusahaan internet mengatakan pemerintah telah meminta mereka memblokir semua media sosial di dekat area kerusuhan.
Seorang pejabatnya mengatakan pemerintah mengajukan permintaan tersebut pada Facebook, Instagram, Viber dan Whatsapp. Pemblokiran dilakukan di Kolombo, dan wilayah lain yang memiliki pergerakan sporadis.
Ketegangan mulai meletus pada Senin (5/3) di luar distrik Kandy. Pada Selasa (6/3), daerah itu memberlakukan jam malam dan mengerahkan tentara dan polisi berpatroli di jalanan.
Sebuah kicauan di akun Twitter kantor Presiden Maithripala Sirisena meyakini keputusan tersebut akan memperbaiki situasi keamanan di beberapa bagian negara tersebut. Diinformasikan juga, para pasukan keamanan diberi wewenang yang sesuai dalam menangani elemen kriminal di masyarakat dan segera memulihkan kondisi.
Pejabat pemerintah tidak secara khusus menyebutkan ekstremis Budha, tetapi banyak komentar muncul ditujukan untuk mereka. "Pemerintah bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang menghasut kebencian religius," kata Menteri Kabinet Rauff Hakeem.
Pengumuman darurat tersebut terjadi setelah gerombolan orang-orang Budha berbuat rusuh di kota-kota di luar Kandy. Mereka membakar setidaknya 11 toko dan rumah milik Muslim.
Serangan tersebut menyusul laporan adanya seorang pria Buddha tewas dibunuh sekelompok Muslim. Kemudian, polisi mengumumkan jam malam di kota tersebut. Kepolisian menetapkan jam malam di seluruh wilayah selama tiga hari penuh untuk meredam situasi. Sejauh ini, tidak ada kekerasan yang dilaporkan terjadi di bagian lain negara kepulauan tersebut.
Anggota parlemen dari Kandy, Lakshman Kiriella mengatakan serangan tersebut dilakukan oleh orang luar. "Saya malu sebagai seorang Budha dan kami harus meminta maaf kepada umat Islam," kata dia.
Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe mengatakan pemerintah mengutuk tindakan rasial dan kekerasan di Sri Lanka. "Sebagai bangsa yang mengalami perang brutal, kita semua sadar akan nilai-nilai perdamaian, rasa hormat, persatuan dan kebebasan," tulisnya di akun Twitter pribadinya.
Sri Lanka telah lama terbagi antara mayoritas orang Sinhala, yang sangat beragama Budha dan minoritas Tamil yang beragama Hindu, Muslim, dan Kristen. Negara ini masih sangat rentan karena perang sipil pada 1983-2009. Saat itu pemberontak Tamil berjuang menciptakan sebuah tanah air yang mandiri, tetapi akhirnya hancur.
Perpecahan agama telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, dengan kelompok garis keras Sinhala yang menuduh Muslim memaksakan orang pindah kepercayaan dan menghancurkan situs suci Budha.
Kedutaan Besar Amrika Serikat (AS) mendesak pemerintah bertindak cepat terhadap para pelaku, melindungi hak-hak minoritas agama, dan mengakhiri keadaan darurat dengan cepat. AS juga mendesak untuk melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar untuk semua orang.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengatakan keadaan darurat seharusnya tidak menjadi dalih untuk pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut. Negara tersebut telah menghabiskan hampir 40 tahun sejak kemerdekaan dalam keadaan darurat.
Direktur Grup Asia Selatan Biraj Patnaik mengatakan, kendati pemerintah memiliki niat positif mencegah kekerasan, tetapi setiap langkah harus memenuhi kewajiban Sri Lanka berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, termasuk larangan mutlak melakukan penyiksaan, pengadilan yang tidak adil, dan penahanan sewenang-wenang.