Jumat 05 Dec 2025 16:29 WIB

Cahaya Alquran di Panggung Dunia, Persembahan Mahkota dari Raihan untuk Almarhum Ayahanda

Raihan menyadari jika menghafal Alquran jalan untuk menyambung cinta kepada ayahnya.

Rep: Muhyiddin/ Red: A.Syalaby Ichsan
Raihan Ahmad Maulana, salah satu peserta MHQ Internasional Disabilitas Netra 2025
Foto: Republika-Muhyiddin
Raihan Ahmad Maulana, salah satu peserta MHQ Internasional Disabilitas Netra 2025

REPUBLIKA.CO.ID, Di ajang Musabaqah Hifzhil Quran (MHQ) Internasional Disabilitas Netra pertama yang digelar di Indonesia itu, seorang pemuda tanggung tengah duduk di kursi. Posisinya berhadap-hadapan dengan mikrofon. Suaranya jernih penuh penghayatan. Lantunan ayat demi ayat keluar seakan setiap hurufnya datang dari tempat paling dalam dari relung hatinya. 

Namanya Raihan Ahmad Maulana (18 tahun). Dialah satu-satunya wakil Indonesia untuk peserta di kategori 20 juz. Ia tampil menggunakan baju batik dan kopyah warna hitam beserta serban putih di lehernya. 

Baca Juga

Jauh sebelum sampai di panggung internasional ini, kisah Raihan dimulai dari sebuah pesan sederhana seorang ibu kepada anaknya: “Nak, jadikan hafalanmu mahkota untuk ayahmu.”

photo
Hafidz tunanetra, Raihan Ahmad Maulana mewakili Indonesia di ajang Musabaqah Hifzhil Quran (MHQ) Internasional Disabilitas Netra pertama di Jakarta, Kamis (4/12/2025). - (Dok. Pribadi)

Ayah Raihan meninggal ketika ia baru berusia tujuh tahun. Sang ibu, dengan lembut namun penuh harap, pernah berpesan agar suatu hari Raihan menghafalkan Alquran dan menghadiahkan mahkota kemuliaan itu untuk ayahnya di akhirat. Pesan itu sempat terdiam lama—mengendap tanpa ia sadari. Hingga ketika memasuki usia 15 tahun, hatinya tergerak tiba-tiba. “Oh iya, pesan Ibu itu…"kenang dia.

Saat itu, Raihan baru menyadari bahwa menghafal Alquran bukan sekadar ibadah, tetapi jalan untuk menyambung cinta kepada ayahnya. Sejak hari itu, langkah Raihan tak pernah lagi mundur.

Benih hafalannya tumbuh saat ia menjadi muazin di sebuah masjid pada 2023. Masjid itu kemudian membuka pondok tahfidz untuk anak-anak sekitar. Melihat santri-santri menghafal, mengulang, dan menyetorkan ayat, Raihan memberanikan diri datang kepada ustadznya.“Saya mau belajar, saya ingin hafal Alquran,”tegas dia. 

Keputusannya bukan perkara mudah. Sebagai penyandang disabilitas netra yang belum menguasai Alquran Braille, Raihan harus mencari jalan lain untuk menghafal. Ia memilih metode pendengaran. Pada awalnya, ia tak memiliki panduan murotal yang memadai.

Hingga sebuah kebaikan kecil mengubah segalanya. Ustadz Iman, orang yang ia sebut paling berjasa, membelikannya sebuah speaker.“Siapa imam favoritmu?” tanya sang ustadz.“Syekh Mishary Rashid Alafasy,” jawab Raihan.

Sejak hari itu, suara merdu Alafasy menjadi guru yang tak pernah absen menuntunnya di malam-malam panjang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement