Rabu 19 Nov 2025 07:30 WIB

Israel Terus Provokasi Lebanon, Lancarkan Serangan Berkala: Akankah Menuju Perang Besar-besaran?

Israel langgar gencatan senjata dengan Lebanon.

Warga memeriksa lokasi yang terkena serangan udara Israel di Dahiyeh, di pinggiran selatan Beirut, Lebanon, Jumat 28 Maret 2025.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Warga memeriksa lokasi yang terkena serangan udara Israel di Dahiyeh, di pinggiran selatan Beirut, Lebanon, Jumat 28 Maret 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT— Di antara indikasi gencatan senjata yang semakin melemah dan realitas lapangan yang terus berkembang, Lebanon Selatan menyaksikan perubahan dalam aturan pertempuran.

Hal ini setelah perjanjian gencatan senjata dan Resolusi 1701 berubah dari payung perdamaian internasional menjadi alat tekanan yang dikelola sesuai dengan visi Israel.

Baca Juga

Zionis Israel memperlakukannya sebagai kerangka kerja fleksibel yang memungkinkan rekayasa ulang lingkungan selatan dan perubahan keseimbangan kekuatan di lapangan, tanpa perlu perang terbuka.

Pelanggaran Israel dimulai setelah berakhirnya perang terakhir, secara terbatas sebelum secara bertahap meluas dan menjadi sistematis, serta memanipulasi teks gencatan senjata untuk kepentingan apa yang disebut Israel sebagai kebebasan bergerak berdasarkan interpretasi tunggal yang luas terhadap konsep ancaman keamanannya.

Upaya penahanan

Seiring dengan eskalasi di lapangan, Israel mengancam akan kembali melakukan operasi militer besar-besaran, kecuali jika Hizbullah melucuti senjata sesuai dengan syarat dan kriteria yang ditetapkan Israel.

Namun, titik balik yang paling menonjol terjadi ketika Israel menargetkan patroli Pasukan Penjaga Perdamaian PBB (UNIFIL) pada Ahad lalu, dan menahan anggotanya di bawah tembakan selama lebih dari setengah jam.

Menurut para pengamat, penargetan tersebut merupakan perubahan kualitatif tidak hanya dalam perilaku militer, tetapi juga dalam sifat penanganan perjanjian gencatan senjata dan Resolusi 1701.

Dengan tidak adanya balasan militer, pelanggaran terus menumpuk dan berubah menjadi kenyataan yang menggambar ulang batas dan keseimbangan di lapangan, di tengah ketidakmampuan internal Lebanon dan ketidakmampuan internasional untuk memaksakan kepatuhan terhadap perjanjian, sementara Israel masih menguasai 5 bukit Lebanon dan wilayah lain selama beberapa dekade.

Dikutip dari Aljazeera, Rabu (19/11/2025), secara politik, muncul upaya Lebanon untuk menahan eskalasi melalui jalur diplomatik yang dipimpin oleh Presiden Republik Joseph Aoun yang menerima Duta Besar AS yang baru, Michel Issa, di Istana Kepresidenan, Senin lalu, sebelum yang terakhir memulai tur protokoler yang mencakup pejabat tinggi tanpa posisi yang diumumkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement