Senin 10 Nov 2025 11:28 WIB

Ketimpangan Masa Tunggu Haji Sebelumnya Dinilai Ekstrem, Ini Penjelasan Kemenhaj

Proporsi kuota dan jumlah pendaftar riil sebelumnya dinilai tak seimbang.

Rep: Muhyiddin, Fuji EP/ Red: A.Syalaby Ichsan
Sejumlah jamaah calon haji kloter pertama menunggu antrean pemeriksaan dokumen sebelum memasuki Asrama Haji Embarkasi, Jawa Barat, Jumat (3/6/2022). Sebanyak 812 jemaah haji asal Subang dan Cirebon tiba di Asrama Haji Embarkasi Bekasi dan akan diterbangkan pada Sabtu (4/6).
Foto: ANTARA/Fakhri Hermansyah
Sejumlah jamaah calon haji kloter pertama menunggu antrean pemeriksaan dokumen sebelum memasuki Asrama Haji Embarkasi, Jawa Barat, Jumat (3/6/2022). Sebanyak 812 jemaah haji asal Subang dan Cirebon tiba di Asrama Haji Embarkasi Bekasi dan akan diterbangkan pada Sabtu (4/6).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Kementerian Haji dan Umrah Republik Indonesia menjelaskan, sebelum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 diberlakukan, pembagian kuota jamaah haji reguler masih mengikuti pola lama yang telah berjalan hampir satu dekade tanpa penyesuaian berarti. Pola tersebut menjadi salah satu penyebab utama terjadinya ketimpangan masa tunggu haji antarwilayah yang ekstrem, bahkan mencapai lebih dari 40 tahun di sejumlah daerah.

Menurut penjelasan Kementerian Haji dan Umrah, meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 sebenarnya telah memberikan dasar hukum agar kuota dibagi berdasarkan jumlah pendaftar (waiting list) atau proporsi penduduk muslim, aturan tersebut tidak pernah diterapkan secara operasional.

Baca Juga

Dalam praktiknya, pembagian kuota provinsi dari tahun ke tahun hanya disesuaikan dengan angka historis yang telah digunakan sejak sebelum 2013. Akibatnya, komposisi kuota relatif tetap meski jumlah pendaftar dan panjang antrean di tiap provinsi berubah drastis. 

"Pola status quo inilah yang menimbulkan ketimpangan masa tunggu, di beberapa daerah mencapai lebih dari 40 tahun," demikian keterangan resmi Kementerian Haji dan Umrah RI, Ahad (9/11/2025).

Ketimpangan masa tunggu yang sangat ekstrem terjadi karena kuota haji selama ini dibagi secara tradisional berdasarkan proporsi jumlah penduduk muslim, bukan berdasarkan proporsi jumlah pendaftar (waiting list).  

photo
Antrean jamaah calon haji (Calhaj) Kloter 1 Embarkasi sebelum pemeriksaan barang bawaan di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (24/5/2023). Sebanyak 360 orang terdiri dari 355 jamaah calhaj dan lima petugas Kloter 1 asal Grobogan berangkat menuju Madinah menggunakan pesawat Garuda Indonesia pada 00.30 WIB dari Bandara Adi Sumarmo. - (Republika/Wihdan Hidayat)

Dengan pola ini, setiap provinsi menerima kuota sesuai besaran populasi muslimnya, lalu membaginya kembali ke kabupaten/kota menggunakan rumus serupa. Padahal, jumlah penduduk muslim tidak selalu sebanding dengan jumlah calon jemaah yang sudah mendaftar. Akibatnya, ada kabupaten/kota yang memiliki daftar tunggu besar tetapi mendapat kuota kecil, sehingga masa tunggunya bisa mencapai puluhan tahun.

"Sebaliknya, ada daerah dengan daftar tunggu kecil yang mendapat kuota berlebih sehingga masa tunggunya jauh lebih singkat," tulis pernyataan tersebut.

Ketidakseimbangan antara proporsi kuota dan jumlah pendaftar aktual ini dinilai menimbulkan kesenjangan ekstrem, seperti antrean 11 tahun di satu daerah dan lebih dari 40 tahun di daerah lain.

Kementerian Haji dan Umrah RI menconhtohkan, di Sulawesi Selatan jamaah haji berhak lunas musim haji 1446H/2025 di kabupaten Tanah Toraja mendaftar di tahun 2014. Sementara, Kabupaten Bantaeng Sidrap mendaftar di tahun 2011.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement