REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan mengejutkan yang dilancarkan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 menjadi titik balik yang mengalihkan perhatian global secara drastis.
Setelah sekian lama isu Palestina-Israel dianggap sebagai konflik regional yang telah "memudar" dari prioritas utama dunia, serangan ini memaksanya kembali ke panggung internasional dengan dampak yang tidak terduga.
Dunia yang sebelumnya terfokus pada perang di Ukraina, ancaman ekonomi global, atau isu perubahan iklim, tiba-tiba harus menghadapi eskalasi kekerasan di Timur Tengah yang mengancam stabilitas regional dan global.
Respons militer Israel yang luar biasa di Jalur Gaza, dengan serangan balasan yang masif dan mematikan, menarik simpati dan kecaman dari seluruh dunia. Operasi yang menyebabkan krisis kemanusiaan parah ini, dengan ribuan warga sipil Palestina tewas, memicu demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di seluruh dunia. Dukungan global terhadap Palestina pun meningkat signifikan, bahkan di negara-negara Barat yang selama ini dikenal sangat pro-Israel.
Pergeseran sentimen publik ini turut memengaruhi lanskap politik di banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan Eropa. Gerakan pro-Palestina di universitas-universitas ternama dan tuntutan gencatan senjata dari berbagai kalangan masyarakat menempatkan pemerintah dalam posisi sulit.
Pemimpin politik harus menghadapi tekanan dari para pemilih yang semakin peduli dengan penderitaan warga sipil di Gaza, memaksa mereka untuk menyesuaikan retorika dan kebijakan luar negeri mereka.
Pada tingkat geopolitik, serangan ini memperlihatkan kerentanan Israel yang sebelumnya dianggap tak tertembus dan mengganggu proses normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab. Momentum Perjanjian Abraham, yang didukung AS untuk menjalin hubungan diplomatik antara Israel dengan negara-negara Arab, tiba-tiba terhenti atau bahkan berbalik arah.
Hal ini menciptakan kembali perpecahan mendalam di kawasan Timur Tengah, antara negara-negara yang berupaya menjaga hubungan dengan Israel dan mereka yang mendukung Palestina.
Di Timur Tengah itu sendiri, serangan Hamas memperkuat kembali perpecahan antara masyarakat dan para pemimpin mereka. Banyak masyarakat Arab yang marah dengan respons militer Israel dan merasa elite politik mereka gagal membela hak-hak Palestina.
Persepsi ini memicu krisis legitimasi bagi beberapa pemerintahan di kawasan tersebut, yang berpotensi memicu gelombang ketidakstabilan baru, mirip dengan skenario Arab Spring ketiga.