REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama melalui Subdirektorat Kemasjidan menggelar Forum Group Discussion (FGD) Kemasjidan - Masjid Berdaya dan Berdampak (MADADA) di Jakarta.
Kegiatan ini menghadirkan Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, Kasubdit Kemasjidan, Nurul Badruttamam, serta dua narasumber utama, Founder Alvara Research Center Hasanuddin Ali dan Ketua LTN PBNU, Hamzah Sahal.
Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, menegaskan, pemberdayaan dan pendampingan program kemasjidan harus dijalankan optimal dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Menurutnya, pendataan masjid perlu dilakukan massif dan aktual, mencakup jumlah masjid, program kemasjidan yang sudah maupun belum terlaksana, tingkat keberhasilan program, serta masjid yang tergabung dalam inisiatif Masjid Berdaya Berdampak (MADADA).
“Masjid harus menjadi pusat aktivitas keagamaan sekaligus memberi dampak nyata bagi masyarakat,” ujarnya dalam keterangan, Kamis (2/10/2025).
Ia menambahkan, penguatan peran masjid perlu diwujudkan melalui pembinaan dan standardisasi SDM takmir, penyediaan fasilitas ramah difabel, pemberdayaan UMKM sekitar masjid, hingga literasi keagamaan yang relevan bagi generasi muda.
Selain itu, Arsad menyoroti pentingnya inovasi dalam penyampaian program, seperti modifikasi bahasa agar lebih mudah dipahami dan diterima.
Kemenag juga mendorong pengembangan program Fasholatan dengan kratif melalui buku dan video bagi anak-anak, remaja dan juga terkhusus baby boomers agar mereka lebih mudah memahami dan semangat ibadahnya lebih tinggi. ‘’Dengan cara ini, masjid akan semakin inklusif, ramah, terbuka, berdampak dan mampu menghadirkan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat,” ujarnya.
Kepala Subdirektorat Kemasjidan Kementerian Agama, Nurul Badruttamam menjelaskan, Subdirektorat Kemasjidan memiliki peran strategis sebagai regulator sekaligus pembina dalam pengelolaan kemasjidan. Karena itu, Kemenag terus menyiapkan langkah-langkah konkret untuk menguatkan kembali peran masjid.
“Kami berkomitmen menghadirkan masjid yang inklusif, ramah, dan berdampak nyata. Takmir perlu dibekali kapasitas manajerial yang profesional agar mampu mengoptimalkan potensi masjid, termasuk dalam aspek pemberdayaan ekonomi dan sosial,” ujarnya.

Ia juga menekankan, terdapat sejumlah isu strategis yang perlu mendapat perhatian serius. Mulai dari manajemen dan tata kelola masjid, regenerasi remaja masjid, adaptasi teknologi dan digitalisasi, hingga penguatan fungsi masjid dalam pemberdayaan ekonomi umat.
Menurutnya, untuk menjawab tantangan tersebut perlunya menjalin sinerigitas dan koloborasi, Subdirektorat Kemasjidan menargetkan percepatan realisasi program kemasjidan melalui penyusunan blue print pengembangan masjid, pemutakhiran profil Subdit Kemasjidan, pengenalan Mars Masjid, penetapan ikon kemasjidan, serta produksi film dokumenter sejarah masjid serta pemetaan layak penerima bantuan bagi masjid agar tepat sasaran, serta optimalisasi program yang sudah berjalan.
“Langkah-langkah ini kami susun sebagai bagian dari upaya menghadirkan masjid yang lebih inklusif, profesional, dan berdaya. Dengan perencanaan yang jelas dan dukungan berbagai pihak, kami optimistis masjid dapat tampil kembali sebagai pusat ibadah sekaligus pusat peradaban umat Islam,” tegas Nurul.
Dalam paparannya, Hasanuddin Ali, Founder Alvara Research Center, menekankan pentingnya masjid sebagai pusat solusi masyarakat.
"Masjid seharusnya tidak berhenti pada fungsi ritual, tetapi juga menjadi pusat pendidikan, ekonomi, sosial, bahkan budaya. Kita butuh strategi berbeda untuk masjid mayoritas dan minoritas agar semua punya peran signifikan," jelasnya.
Diskusi ini juga merumuskan enam pilar penguatan kemasjidan, yakni tata kelola dan data masjid, masjid ramah dan aman, penguatan keluarga dan kerukunan, pemberdayaan ekonomi umat, moderasi beragama dan literasi digital, serta masjid hijau yang peduli lingkungan.
Hasanuddin mengingatkan, perubahan demografi umat Islam menjadi tantangan tersendiri. Pertumbuhan penduduk muslim yang melambat menuntut masjid berperan aktif dalam memperkuat basis sosial dan spiritual umat.
Menurutnya, masjid bisa menjadi ruang strategis untuk memperkuat keluarga, mengembangkan UMKM berbasis jamaah, serta mendorong literasi digital dan moderasi beragama. Isu politik praktis yang kadang masuk ke masjid juga menjadi perhatian.
Ditekankan bahwa masjid sebaiknya fokus pada penguatan politik kebangsaan, bukan sekadar kepentingan politik elektoral. Dengan tata kelola lebih profesional, masjid dapat benar-benar hadir sebagai ruang yang aman, damai, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Sementera itu, Ketua LTN PBNU, Hamzah Sahal, menyoroti pentingnya literasi keagamaan dan penguatan budaya berbasis masjid. Menurutnya, masjid harus hadir sebagai ruang edukasi publik yang mencerahkan.
“Kami mendorong penerbitan kembali buku-buku sejarah kemasjidan, produksi dokumenter, peninjauan kembali terkait status hukum tanah wakaf masjid, pengadaan sumur-sumur masjid hingga kampanye literasi berbasis digital. Masjid perlu dilihat bukan hanya sebagai ruang sakral, tetapi juga sebagai ruang hidup yang dinamis dan komunikatif,” ujar Hamzah.
Melalui forum ini, para pemangku kepentingan sepakat masjid tidak boleh berhenti pada fungsi ritual, tetapi harus berkembang menjadi pusat pemberdayaan yang inklusif, ramah, dan berdampak nyata bagi umat.
Kemenag menegaskan komitmennya untuk memperkuat tata kelola dan kapasitas kelembagaan masjid, memperluas akses hingga pelosok negeri, serta menghadirkan inovasi program yang relevan dengan kebutuhan generasi kini.
Dengan kolaborasi pemerintah, organisasi keagamaan, akademisi, dan masyarakat, masjid diharapkan mampu kembali memainkan peran strategisnya: menjadi pusat ibadah sekaligus pusat solusi bagi problem sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya masyarakat Indonesia.