REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Di Indonesia, perkembangan ekonomi Islam memiliki akar yang kuat pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Penggunaan Dinar dan Dirham di sejumlah kerajaan Islam Nusantara menjadi bukti nyata.
Kerajaan Aceh Darussalam membuat mata uang sendiri yang ditulis dengan huruf Arab pada masa kepemimpinan Sultan Alaiddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (945-979 H/1539-1571 M).
Praktik pajak perdagangan pada masa kerajaan Islam Nusantara juga menerapkan pembedaan cukai atas Muslim dan non-Muslim sebagaimana yang diberlakukan pada kekhilafahan Islam.
Di dalam aspek pemikiran ekonomi, terdapat dua tokoh ekonomi yang sejauh ini bisa ditelusuri, yakni Nurudin ar-Raniri dan Syaikh Abdul Ra’uf Al-Sinkili. Ar-Raniri menulis buku Bustan Salatin pada tahun 1638 atas perintah Sultan Iskandar Thani of Aceh (1636-1641). Buku tersebut berbicara menyinggung masalah wakaf.
Syaikh Abdul Ra’uf al-Sinkili menulis buku dengan judul Mirat al-Thullab atas perintah Tajul Alam Saiatuddin Syah (1641-1675).
Setelah itu, belum dijumpai kembali tokoh pemikir ekonomi di Nusantara seiring munculnya para penjajah dari negara-negara Eropa, dikutip dari buku Pengantar Ekonomi Islam yang diterbitkan Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah BI.
Di dalam pengembangan ekonomi Islam ternyata para pemikir atau cendekiawan Muslim Indonesia telah banyak memberikan kontribusinya, tetapi pemikiran ekonomi Islam mereka tidak cukup dikenal oleh para cendekiawan Muslim dunia karena tidak ditulis atau diterjemahkan dalam bahasa dunia misalnya Inggris dan Arab. Karya Khairuddin Yunus merupakan salah satu yang ditulis dalam bahasa Arab dan Inggris, seperti Economic System of Islam dan Hadzihi Hiya Indunisiya.
Di awal abad ke-20 dapat dijumpai sejumlah pemikiran ekonomi dari tokoh intelektual Muslim Indonesia. Isu ekonomi yang menjadi perhatian adalah tentang hubungan Islam dengan sistem kapitalisme dan sosialisme yang mendominasi perekonomian dunia masa itu. Gerakan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida ditengarai juga berpengaruh terhadap gerakan keumatan dan juga pemikiran ekonomi di Indonesia.
Sistem Sosialisme Lebih Dekat kepada Islam
Tokoh pejuang kemerdekaan, HOS Tjokroaminoto menulis buku yang berjudul Islam dan Sosialisme pada tahun 1924. Di tengah perdebatan ideologi antara kapitalisme, HOS Tjokroaminoto berpandangan bahwa sistem sosialisme lebih dekat kepada Islam.
Meski demikian, HOS Tjokroaminoto menegaskan bahwa apa yang ia yakini adalah sosialisme Islam, prinsip sosialisme yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam.
Sejumlah tokoh lainnya adalah HM Rasjidi yang menulis Islam dan Sosialisme (1966), Sjafruddin Parawiranegara yang menulis Apa Jang Dimaksud dengan Sistem Ekonomi Islam (1967), Zainal Abidin Ahmad yang menulis Dasar-Dasar Ekonomi Islam (1950), Kahruddin Yunus yang menulis Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama Bersamaisme (1955), dan Buya Hamka yang menulis Keadilan Sosial dalam Islam (1951).
Di kuartal keempat abad 20, mulai muncul diskusi tentang sistem keuangan tanpa bunga, mengikuti isu dunia Islam waktu itu. Diskursus tersebut melahirkan pendirian institusi Baitul Mal wat Tamwil sebagai lembaga keuangan mikro syariah. Selanjutnya, bank syariah pertama, Bank Muamalat beroperasi pada tahun 1992. Semenjak itu, pemikiran ekonomi Islam terus berkembang, terutama pasca krisis moneter 1998, di mana sistem keuangan Islam dinilai lebih tahan terhadap krisis. Saat ini, banyak tokoh ekonomi Islam yang bermunculan diiringi dengan mulai banyaknya Perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam. Buku-buku ekonomi Islam juga mulai banyak ditemukan di berbagai toko buku.