REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Sebanyak 88 guru besar di seluruh Indonesia termasuk Aceh yang tergabung dalam Forum Guru Besar Insan Cita menyuarakan agar Presiden Prabowo menegakkan supremasi hukum, pemberantasan KKN hingga menjalankan demokrasi.
"Kita menyuarakan bahwa penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan penguatan demokrasi adalah tiga pilar utama untuk menarik Indonesia keluar dari situasi genting ini," kata Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Prof Ahmad Humam Hamid, di Banda Aceh, Selasa.
Forum Guru Besar Insan Cita ini terdiri dari 88 guru besar dari seluruh Indonesia, dan dua diantaranya perwakilan Aceh yakni Prof Ahmad Humam Hamid dari USK Banda Aceh, dan Prof Syamsul Rijal dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Selain itu, forum ini juga diisi oleh Prof Mahfud MD, Rektor Universitas Paramadina dan salah seorang pendiri INDEF Prof Didik Rachbini, Peneliti Senior LIPI, Prof Siti Zuhro, mantan Rektor UIN adukan Kalijaga Yogyakarta, Prof Al Makin.
Lalu, ada mantan Menteri Penertiban Aparatur Negara dan Dubes Ukraina, Prof Yudhi Chrisnadi, salah seorang pendiri Universitas Insan Cita Indonesia Prof Sujana Sulaeman, dan lain sebagainya.
Prof Humam menyampaikan, Indonesia saat ini sedang menghadapi badai sempurna, konvergensi krisis ekonomi, politik, sosial, dan legitimasi. Dampaknya, terasa langsung di jalanan dan rumah tangga rakyat.
Tahun 2025, kata dia, bukan hanya menandai usia 80 tahun republik ini, tetapi juga momen kritis. Lalu, apakah semuanya akan tenggelam dalam polarisasi dan ketimpangan, atau membalikkan arah sejarah dengan langkah keberanian.
Karena itu, Forum Guru Besar Insan Cita mendesak segera menghentikan kekerasan, baik dari aparat maupun massa. Hukum perlu ditegakkan secara adil, dan ruang untuk menyuarakan pendapat harus dijaga.
Lakukan reformasi menyeluruh di tubuh Polri, termasuk pergantian pucuk kepemimpinan yang tangguh dan demokratis. Reshuffle segera kabinet, ganti pejabat yang kehilangan legitimasi publik dengan sosok kredibel, kompeten, dan dipercaya rakyat.
Tindak tegas anggota DPR yang menciptakan kemarahan publik, termasuk melalui pengganti atau pemberian sanksi.
Akselerasi pengesahan RUU Perampasan Aset Koruptor melalui DPR atau Perppu. Kembalikan KPK ke status lembaga independen seperti sebelum reformasi 2019.
Cabut UU Ciptaker, dan dorong pembukaan lapangan kerja inklusif sebagai solusi jangka pendek terhadap lonjakan pengangguran.
Revisi program Makan Bergizi Gratis (MBG) agar tepat sasaran dengan prioritas untuk anak didik di zona 3T dan wilayah rawan stunting.
Selain itu, lanjut Prof Humam, juga perlu adanya solusi struktural jangka menengah, yaitu, Presiden harus memimpin langsung gerakan pemberantasan korupsi, melibatkan seluruh elemen bangsa, dan memperkuat kapasitas KPK serta lembaga hukum lainnya.
Kemudian, lanjut Prof Humam, lakukan audit dan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh peraturan dan undang-undang, mencabut regulasi yang membebani rakyat dan menggantinya dengan kebijakan pro‑rakyat.
Perkuat independensi lembaga pengawasan publik (seperti BPK dan BPKP), dengan seleksi pemimpin yang transparan, berbasis integritas dan kompetensi.
Reformasi birokrasi secara besar-besaran, desain ulang administrasi pemerintahan untuk menjadi efisien, profesional, dan bebas dari pengaruh politik.
Capai bonus demografi dengan kebijakan edukasi dan ketenagakerjaan yang inklusif dan berpihak pada generasi muda.
"Demokrasi kita kini berada di persimpangan: DPR harus menjadi teladan hidup sederhana, menahan fasilitas berlebihan, dan menjalankan tugas dengan etika dan tanggung jawab penuh," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, perlu dilakukan reformasi politik dan pemilu yang dilandasi nilai Pancasila, tidak semata meniru liberalisme barat.
Termasuk, harus mengevaluasi gagasan pendirian institusi baru, seperti perguruan tinggi Danantara, yaitu pendekatan memperkuat pendidikan tinggi yang telah ada menjadi lebih prioritas.
Dalam kesempatan ini, Prof Humam juga menegaskan, sebagai akademisi dan intelektual lulusan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), pernyataan ini bukan semata teks formal, tetapi panggilan moral, akademik, dan nasionalis. Keutuhan NKRI, keadilan sosial, dan demokrasi sejati tidak bisa ditunda.
"Kami mendesak Presiden dan DPR RI untuk segera menjawab seruan ini dengan kebijakan nyata, bukan diskursus kosong sebelum gelombang ketidakadilan menelanjangi sistem demokrasi kita lebih jauh," ujar Prof Humam Hamid.