REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Singgih Januratmoko mengungkapkan, pengelolaan kuota haji tambahan yang ikut diatur dalam UU Haji dan Umrah yang baru disahkan akan diatur dengan transparan dan akuntabel. Dia mengungkapkan, kuota tambahan tersebut memprioritaskan antrean panjang yang sudah ada sehingga dapat memperpendek masa tunggu bagi calon jamaah.
Adapun mengenai kuota haji khusus sebesar 8 (delapan) persen umrah mandiri yang sempat menjadi perdebatan, Singgih menyebut kedua skema tersebut telah diatur dengan cermat untuk memastikan tidak ada praktik yang merugikan.
"Kami telah mendengarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk asosiasi penyelenggara. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas dan pilihan kepada jamaah, namun tetap dalam koridor pengawasan ketat pemerintah untuk mencegah praktik ilegal dan penipuan," tutur dia lewat keterangan tertulis, Selasa (26/2025) malam.
Sebelumnya, kuota tambahan menjadi sorotan mengingat adanya dugaan kasus korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada musim haji 2023-2024. Kasus yang sudah dinaikkan ke tahap penyidikan tersebut bermula pada temuan adanya pengubahan proporsi kuota tambahan antara kuota jamaah haji reguler dengan kuota jamaah haji khusus.
Saat itu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memutuskan agar 20 ribu kuota tambahan yang seharusnya dibagi antara kuota haji reguler dengan haji khusus 92:8 menjadi 50:50. Keputusan tersebut dinilai tidak sejalan undang-undang yang mengatur jika kuota haji khusus mendapatkan 8 persen dari kuota jamaah.
