Selasa 01 Jul 2025 08:59 WIB

AI Berbahaya Jika tak Disikapi Bijak, Ini 3 Strategi Pengelolaannya Secara Islami Menurut UBN

Kecerdasan buatan mempunyai sisi negatif positif.

Kecerdasan buatan mempunyai sisi negatif positif.
Foto: Dok Istimewa
Kecerdasan buatan mempunyai sisi negatif positif.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR—Fenomena kecerdasan buatan (AI) hari ini sejatinya mirip dengan tantangan para ilmuwan Muslim di masa lalu saat menghadapi gelombang renaisans filsafat Barat.

Hal ini disampaikan pendakwah Ustadz Bachtiar Nasir, dalam Studium Generale bertajuk “Melawan Fitnah Rasionalisme Ekstrem di Tengah Revolusi AI”, Senin (30/6/25). Kegiatan ini sekaligus menjadi penutup rangkaian Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Semester Genap Tahun Akademik 2024/2025.

Baca Juga

“AI masa lalu kira-kira begitu, bedanya zaman dulu pikiran orang-orang hebat dituangkan dalam buku, sementara zaman sekarang dituangkan dalam bentuk visual,” ungkap UBN.

Menurut UBN, AI bisa menjadi alat yang luar biasa untuk mempercepat akses ilmu dan keterampilan. Namun, pada saat yang sama, AI juga menyimpan potensi bahaya besar jika tidak disikapi dengan bijak.

“AI bukan menggantikan pekerjaan manusia, tapi orang yang menguasai AI lah yang akan menggantikan manusia yang tidak menguasainya. Karena AI mendemokratisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, siapa saja bisa menjadi hebat asal tahu cara menggunakannya,” jelas UBN.

Lebih lanjut, UBN menyoroti bahaya rasionalisme ekstrem, yaitu ketika manusia menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran, mengesampingkan nilai-nilai spiritual, dan menyerahkan penilaian moral kepada mesin.

“Inilah krisis makna. Ketika algoritma mulai diberi wewenang untuk menilai benar-salah, manusia kehilangan otonomi moralnya,” ujar alumni Universitas Islam Madinah ini.

Sebagai solusi, UBN menawarkan tiga strategi utama dalam menyikapi AI secara Islami dan proporsional. Pertama, literasi teknologi, yaitu memahami cara kerja AI agar tidak terjebak pada mitos netralitas. Kedua, etika Islam, yaitu menilai penggunaan AI berdasarkan prinsip kemaslahatan dan nilai-nilai syariat.

Ketiga, integrasi iman dan akal, yaitu menjadikan AI sebagai alat, bukan sebagai “tuhan baru” dalam kehidupan manusia.

Studium Generale ini menjadi momentum strategis bagi STIQ Ar-Rahman dalam menyiapkan kader-kader dai Qurani yang tidak hanya kuat dalam ilmu keislaman, tetapi juga tangguh dalam menghadapi era digital.

Dengan semangat tadabur Alquran dan wawasan keilmuan yang luas, kampus ini berkomitmen melahirkan generasi pendakwah yang mampu menjembatani nilai-nilai wahyu dan teknologi demi kemaslahatan umat dan peradaban Islam yang berkelanjutan.

Acara yang diselenggarakan di Aula KHBN STIQ Ar-Rahman ini menghadirkan Ustaz Bachtiar Nasir (UBN) sebagai narasumber.

Turut hadir dalam acara tersebut jajaran pimpinan kampus dan yayasan, antara lain Ketua Yayasan Pusat Peradaban Islam Buya Iswahyudi Mukhlis Lc MA, Ketua STIQ Ar-Rahman Dr Haris Renaldi M Pd, para ketua unit AQL Islamic Center, dosen, tenaga kependidikan, dan seluruh mahasiswa.

Dalam sambutannya, Dr Haris Renaldi menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih yang mendalam atas kehadiran KH Bachtiar Nasir untuk menyampaikan materi yang sangat relevan dengan tantangan zaman.

“Tema ini sangat penting, khususnya bagi para mahasiswa yang sebentar lagi akan kembali ke masyarakat. Mereka perlu dibekali dengan wawasan kritis dan spiritual untuk menghadapi derasnya arus perkembangan teknologi dan pemikiran kontemporer,” ungkapnya.

Sementara itu Ketua Yayasan Pusat Peradaban Islam, Buya Iswahyudi menegaskan bahwa penguasaan teknologi, terutama AI, adalah sebuah keniscayaan yang harus dimiliki oleh generasi muda Muslim.

Dia mengajak mahasiswa untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga aktor yang mampu menentukan arah dan nilai dari perkembangan teknologi itu sendiri.

“Saya berharap kepada mahasiswa dan mahasiswi, jadikan ilmu yang diperoleh hari ini sebagai bekal yang sangat berharga untuk dikembangkan di masa depan. Seperti yang sering disampaikan gurunda kita bahwa ke depan yang dibutuhkan adalah dai-dai yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tapi juga menguasai teknologi,” tegas Buya Iswahyudi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement