REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakaf merupakan salah satu ibadah sunah dalam ajaran Islam. Buku Fiqih Wakaf (2003) terbitan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama menerangkan seluk-beluk amalan tersebut.
Secara kebahasaan, wakaf berasal dari kata bahasa Arab, waqf, yang berarti ‘menahan’ atau ‘berhenti.’ Para ahli fikih memberikan berbagai definisi tentang wakaf dalam konteks syariat.
Sebagai contoh, Imam Abu Hanifah yang memandang wakaf sebagai ibadah “menahan suatu benda yang menurut syariat tetap milik si wakif—orang yang berwakaf—dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan.” Sementara itu, mazhab Syafii dan Hambali berpendapat, “wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif setelah sempurna prosedur perwakafan.”
Seorang wakif tidak dapat melarang penyaluran manfaat harta yang sudah diwakafkannya kepada orang-orang yang diberi wakaf (mauquf ‘alaih). Kalau sampai dia melarangnya, hakim dapat memaksanya agar memberikan manfaat harta itu kepada mauquf ‘alaih.
Karena itu, Imam Syafii mendefinisikan wakaf sebagai “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan sosial.”
Pengelola atau wazir wakaf tidak dilarang untuk memperoleh hasil dari wakaf yang diamanahkan kepadanya, asalkan dengan cara-cara yang baik. Demikian pula, tidak ada maksud darinya sama sekali untuk menumpuk-numpuk harta.
Dalam sejarah, syariat tentang wakaf bermula dua tahun sejak Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah—kota yang dahulu bernama Yastrib. Ada dua pendapat tentang siapa yang pertama kali berwakaf.
Sebagian ulama mengatakan, Rasulullah SAW adalah sosok wakif pertama. Beliau mewakafkan sebidang tanah miliknya untuk dibangun masjid. Keterangan itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Sa’ad bin Muad.
Ibnu Sa’ad berkata, “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam. Orang Muhajirin mengatakan, (yang pertama) adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Anshar mengatakan, adalah wakaf Rasulullah SAW.”
View this post on Instagram
Adapun pendapat yang kedua menyatakan, Umar bin Khattab merupakan sosok wakif terawal. Itu berdasarkan pada hadis yang cukup panjang, sebagaimana diriwayatkan dari Imam Muslim yang sanadnya sampai pada Ibnu Umar.
Dalam hadis tersebut, disebutkan bahwa al-Faruq meminta petunjuk Nabi SAW tentang tanah miliknya di Khaibar. Rasul SAW pun bersabda, “Bila engkau (Umar) suka, engkau tahan (pokoknya) tanah itu dan sedekahkan hasilnya.”
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kaum Muslimin terus menghidupkan wakaf. Dalam masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, misalnya, makin banyak orang berbondong-bondong mewakafkan hartanya.
Para penerima manfaatnya tidak hanya berasal dari kalangan fakir miskin. Sebab, wakaf sudah menjadi sebuah modal yang sangat bisa diandalkan, misalnya, untuk membangun lembaga-lembaga pendidikan. Termasuk di sini, membayar gaji para guru dan stafnya, menyediakan beasiswa bagi para pelajar, serta mendirikan perpustakaan.
Rumah-rumah sakit pun dibangun di berbagai kota dengan dana wakaf. Semua biaya operasional lembaga pelayanan kesehatan itu ditanggung dari dana wakaf. Gaji dokter, perawat, hingga pasokan obat-obatan ditanggung oleh dana wakaf. Alhasil, rakyat miskin sekalipun bisa mendapatkan pelayanan yang prima secara cuma-cuma.