Sabtu 24 May 2025 10:55 WIB

Antropolog AS: Solidaritas Warga Amerika Terhadap Gaza Tumbuh Pesat

Respons dari kalangan tua dan otoritas kampus seringkali represif.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Antropolog dari Emory University, Atlanta, USA Prof James B. Hoesterey.
Foto: Muhyiddin / Republika
Antropolog dari Emory University, Atlanta, USA Prof James B. Hoesterey.

REPUBLIKA.CO.ID,DEPOK -- Perhatian masyarakat Amerika Serikat (AS) terhadap konflik Gaza mengalami perubahan signifikan pasca-serangan 7 Oktober 2023. Antropolog dari Emory University, Atlanta, USA Prof James B. Hoesterey mengatakan, solidaritas terhadap warga Gaza semakin pesat, terutama di kalangan akademisi dan generasi muda AS.

Menurut dia, meskipun media arus utama AS seperti The New York Times cenderung memprioritaskan narasi yang mendukung Israel dan mengangkat isu antisemitisme, gelombang simpati terhadap warga Gaza justru tumbuh di lingkungan kampus.

 

 “Jika pada era Intifada II tahun 2000-an aksi protes didominasi oleh mahasiswa keturunan Timur Tengah atau Muslim, kini yang turun ke jalan termasuk banyak warga Yahudi non-Zionis yang menolak identitas agama mereka ‘dibajak’ untuk membenarkan kebijakan Israel,” ujar Prof James kepada Republika.co.id usai diskusi bertajuk “A Critical Review of Moderate Islam in the Muslim World” yang digelar Pusat Kajian Psikologi Universitas Indonesia (UI) di Gedung FISIP UI, Jumat (23/5/2025).

  

Prof James menekankan kelompok di bawah usia 35 tahun menunjukkan tren progresif dalam mendukung kemerdekaan Palestina. “Mereka tidak hanya menentang serangan terhadap Gaza, tetapi juga memperjuangkan hak Palestina untuk merdeka,” ucap dia.

 

Sebaliknya, respons dari kalangan tua dan otoritas kampus seringkali represif. Ia mencontohkan insiden di Emory University April lalu, ketika aparat kepolisian membubarkan aksi protes pro-Palestina dan menahan 28 orang—23 di antaranya terbukti mahasiswa atau staf kampus.  

 

“Presiden universitas awalnya menyebut demonstran sebagai ‘oknum dari luar’, tetapi fakta membuktikan bahwa mereka adalah bagian dari komunitas kampus yang peduli Gaza,” kata Prof James. 

 

Dia menilai insiden ini mencerminkan bagaimana isu Palestina dan Yahudi kerap dijadikan alat politik, terutama di era polarisasi Donald Trump.  

 

Dia pun mengkritik naiknya kedua isu—antisemitisme dan Islamofobia—secara bersamaan di AS. “Trump, misalnya, mengabaikan antisemitisme nyata, tetapi mendukung narasinya untuk kepentingan elektoral. Di Harvard, isu antisemitisme dipolitisasi hingga mengancam keberadaan mahasiswa internasional,” jelas dia.  

 

Prof James menambahkan, situasi ini memperlihatkan bagaimana agama—baik Islam maupun Yahudi—dieksploitasi untuk agenda politik. “Yang lebih berbahaya bukanlah antisemitisme atau Islamofobia sebagai fenomena sosial, melainkan ketika keduanya dijadikan senjata untuk membungkam suara kritis,” ujar Prof James.  

 

Dia optimistis gerakan di kampus-kampus AS yang kini meluas ke lebih dari 100 universitas, menandai babak baru kesadaran masyarakat AS tentang Palestina. “Ini bukan sekadar tentang Gaza, tetapi tentang perlawanan terhadap rezim opresi dan narasi media yang bias,” ucap dia.  

 

photo
Infografis DK PBB Akhirnya Loloskan Gencatan Senjata di Gaza - (Republika.co.id)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement