REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alkisah, Asy-Syibli, seorang ulama sufi besar, sepulang dari ibadah haji menemui gurunya, Ali Zainal Abidin, putra Husein cucu Nabi. Asy-Syibli pun ditanya, "Apakah kamu benar-benar sudah menunaikan ibadah haji?"
"Sudah," jawab Asy-Syibli.
Ia kembali ditanya, "Apakah ketika berhenti di miqat kamu menguatkan niat dan menanggalkan semua pakaian maksiat kemudian menggantinya dengan pakaian ketaatan?"
"Tidak," jawab Asy-Syibli.
Asy-Syibli kembali ditanya, "Saat kamu menanggalkan pakaian yang terlarang itu apakah kamu sudah menghilangkan perasaan riya, munafik, dan semua syubhat (yang diragukan hukumnya)?"
Asy-Syibli menjawab, "Tidak."
Ia kembali ditanya, "Ketika berada dalam ibadah haji yang terikat dengan ketentuan-ketentuan haji (manasik haji), kamu telah melepaskan diri dari segala ikatan duniawi dan hanya mengikatkan diri pada Allah?"
"Tidak," jawab Asy-Syibli.
"Kalau begitu, kamu belum membersihkan diri, belum berihram, dan belum mengikat diri kamu dalam beribadah haji," kata gurunya. Ali Zainal Abidin kembali bertanya, "Ketika tawaf, apakah kamu berniat untuk lari menuju ridha Allah?" Asy-Syibli menjawab, "Tidak." "Jika demikian, kamu belum tawaf," ujar gurunya.
Sang gurunya bertanya lagi, "Apakah saat kamu melakukan sai antara Safa dan Marwah, kamu mencurahkan semua harapan untuk memperoleh rahmat Allah dan bergetar tubuhmu karena takut akan siksaan-Nya?"
Asy-Syibli menjawab, "Tidak."
"Kalau begitu, kamu belum melakukan sai di antara keduanya."
Asy-Syibli kembali ditanya, "Ketika kamu wukuf di padang Arafah, apakah kamu benar-benar menghayati makrifat akan keagungan Allah? Apakah kamu menyadari hakikat ilmu yang dapat mengantarkanmu kepada-Nya? Apakah kamu menyadari dengan sesungguhnya bahwa Allah Maha Mengetahui segala perbuatan, perasaan, dan suara nurani?"
"Tidak," jawab Asy-Syibli.
"Kalau begitu, kamu belum wukuf di Arafah," kata gurunya lagi.
View this post on Instagram