REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Ihya Ulum ad-Din, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjelaskan, jamaah haji melakukan tawaf seperti para malaikat mengelilingi singgasana Allah (Arasy). Alhasil, tawaf jangan hanya dipahami sebatas ritual mengelilingi Ka'bah.
Al-Ghazali mengajarkan, jangan hanya tubuh yang bertawaf, tetapi juga hati. Bahkan, simpanlah Ka'bah di dalam hati agar selalu berada di dekat Allah.
Janganlah memulai zikir kecuali dengan menyebut nama Allah dan jangan pula mengakhirinya kecuali menyebut nama Allah. Tawaf yang mulia adalah hati yang selalu mengitari dan berada dalam kondisi mengingat Allah (dzikrullah), menyadari bahwa Allah selalu hadir.
Ka'bah adalah permisalan nyata kehadiran Allah. Tubuh manusia dapat dipandang kasat mata, tetapi hatinya tidak demikian. Hati ini akan terasa nyaman jika didekatkan kepada Sang Pencipta.
Tak banyak orang yang dapat tawaf secara batin. Mereka adalah orang yang melaksanakan tawaf dengan jiwa yang suci dan bersih seperti malaikat.
Mereka adalah para wali Allah yang hatinya mampu menyingkap tabir yang selama ini menutupi dirinya dengan alam malaikat. Meski demikian, al-Ghazali menekankan, jamaah haji harus berupaya untuk meniru tawaf malaikat yang mengitari Bait al-Ma'mur.
Rasulullah SAW bersabda, barang siapa yang meyerupai suatu kaum, maka mereka adalah bagian dari kaum tersebut (HR Abu Daud).
Syekh Mutawalli as-Sya'rawi dalam al-Hajjul Mabrur menjelaskan, ketika bertawaf, manusia tak lagi memikirkan dirinya. Mereka berkonsentrasi sepenuhnya untuk beribadah.
View this post on Instagram