REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Haji menurut bahasa adalah berkeinginan, berkehendak, atau berkemauan. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa ditunaikannya ibadah haji tidak hanya bermodal kemampuan, melainkan juga tekad yang kokoh.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak orang secara matematis tidak memiliki cukup uang, tetapi tetap melalui jalan untuk berhaji. Hal itu antara lain diiringi oleh tekad dan keinginannya yang sedemikian kuat untuk menjadi tamu Allah.
Ada syarat berhaji, yakni mampu. Ini sebagaimana firman Allah, yang artinya, "Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam" (QS Ali Imran [3]: 97).
Ayat ini sama sekali tidak menyinggung dari mana kemampuan itu didapat. Yang paling mendasar ditawarkan oleh ayat di atas adalah prinsip karena Allah itulah yang mendasari tekad menuju Baitullah.
Tamu-tamu Allah itu hadir dengan latar belakang perbedaan yang multimacam dan semuanya harus lebur dalam suasana mencari keridhaan-Nya. Sang Kekasih menerima tamu-tamu-Nya sesuai kadar mereka masing-masing. Jadi, faktor ketakwaan yang dibawa oleh tiap tamu sangat berarti. Janganlah justru membawa kemusyrikan walau "kecil" (baca: riya).
Karena itu, seorang tokoh sufi pernah berkata: "Orang yang paling (sunyi) adalah orang yang datang ke rumah kekasih tanpa kekasih. Ia tidak lebih baik dari orang-orang yang tidak hadir ke Tanah Suci, tetapi setiap saat Allah hadir menyertainya di manapun berada."
