REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum zaman modern, para peziarah memanfaatkan jalur darat dan laut untuk mencapai Makkah. Pada abad pertengahan, misalnya, jamaah haji yang menempuh rute darat dapat berhimpun pada beberapa kota besar yang ada di negeri-negeri sekitar Jazirah Arab. Unta menjadi alat transportasi utama bagi mereka. Begitu pula keledai atau kadang kala kuda.
KN Chaudhuri dalam tulisannya di The Cambridge Illustrated History of the Islamic World menjelaskan, pada masa itu tempat transit utama karavan jamaah haji dari Afrika Utara ialah Kairo. Sementara itu, mereka yang datang dari kawasan Balkan, Anatolia (Turki), dan Syam akan berhimpun di Damaskus. Adapun rombongan dari arah Transoksania (Asia Tengah), Afghanistan, dan Persia berkumpul terlebih dahulu di Baghdad.
Sebagai ibu kota kekhalifahan, Baghdad memiliki infrastruktur yang relatif lebih bagus. Khalifah ketiga Abbasiyah, al-Mahdi mulai membangun jalan penghubung antara Irak dan Hijaz. Proyek itu diteruskan anak-anaknya dan akhirnya tuntas pada masa Harun al-Rasyid. Jalan sepanjang 1.400 kilometer (km) itu membelah Gurun Nafud hingga Madinah dan Makkah. Sang sultan menamakannya Jalan Zubaidah, demi mengenang istrinya, Zubaidah binti Ja’far. Tiap 20 km atau sejarak satu hari perjalanan, terdapat pos pemberhentian. Karavan haji dapat memperoleh air minum, makanan, atau sekadar tempat bernaung di sana.
Sesudah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada 1258, Kairo dan Damaskus menjadi tempat persinggahan utama bagi jamaah haji yang melalui jalur darat. Yang pertama tetap menjadi basis transit mereka yang berarak dari Afrika Utara dan Afrika Barat. Adapun kota yang kedua mulai ketambahan karavan-karavan yang sebelumnya singgah di Baghdad.
View this post on Instagram