REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap hari raya Idul Fitri, umumnya orang Indonesia gemar membagi-bagikan uang kepada sanak famili, khususnya anak-anak. Karena itu, kebutuhan akan uang pecahan kecil kian meningkat dalam hari-hari menjelang Lebaran.
Tingginya minat terhadap penukaran uang baru pun memunculkan ide bisnis, yakni berupa "jual beli" uang-uang baru. Kini, tidak jarang orang-orang menjajakan jasa penukaran uang tersebut di pinggir jalan.
Islam mengajarkan, praktik jual beli pada dasarnya dibolehkan. Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat ke-275, Allah berfirman.
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Lengkapnya, ayat di atas memaparkan perbedaan mendasar antara praktik jual-beli dan riba. Yang satu dihalalkan, sedangkan yang lain dilarang atau diharamkan.
Adapun dalam fenomena jasa penukaran uang kecil di pinggir jalan, sejatinya tidak ada praktik jual-beli. Justru yang muncul di sana adalah unsur riba.
Jika jasa penukaran uang kecil dipandang sebagai jual-beli, maka tidak memenuhi syarat sahnya jual-beli. Sebab, barang yang diperjualbelikan pada faktanya tidak ada. Yang seakan-akan dijual malahan adalah uang, yang seharusnya menjadi alat tukar.

Jika penyedia jasa penukaran uang di pinggir jalan berdalih bahwa mereka hanya menawarkan jasa, maka alasan ini tetap tidak bisa dibenarkan. Sebab, ada pihak yang berwenang dalam hal penukaran uang, yakni semisal Bank Indonesia (BI) atau bank-bank lain. Lembaga itu telah menyediakan penukaran uang secara cuma-cuma.
Dalam fikih, jual beli mata uang diistilahkan sebagai tijarah an-naqd atau al-sharf. Praktik ini dibolehkan dalam Islam dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.