REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Cinta, bahasa universal yang melampaui batas-batas dan budaya, adalah emosi indah yang telah dirayakan sepanjang sejarah.
Dalam Islam, cinta tidak dikutuk, melainkan dihargai sebagai anugerah dari Allah SWT. Cinta kepada Allah SWT, Sang Pencipta, adalah fondasi dari keimanan seorang Muslim.
Namun, kompleksitas emosi manusia sering kali membawa kita ke jalan yang mungkin menyimpang dari tuntunan ilahi, mengaburkan batas antara cinta dan iman.
Daya pikat cinta romantis bisa memabukkan, terutama dalam pusaran emosi masa muda. Kegembiraan dari sebuah hubungan baru, sensasi momen bersama, dan kenyamanan persahabatan dapat dengan mudah menyebabkan keterikatan yang kuat.
Pada saat-saat yang rentan inilah kita harus memperhatikan keseimbangan antara cinta manusia dan pengabdian kita kepada Allah SWT.
Dalam permadani ajaran Islam, konsep hubungan yang haram memiliki bobot yang signifikan, yang berfungsi sebagai prinsip panduan untuk melindungi individu dari gejolak emosional dan spiritual.
Alquran secara eksplisit memperingatkan agar tidak mendekati zina (perzinahan atau percabulan) dalam Surat Al-Isra, ayat 32, dengan menekankan sifat merusak dan konsekuensi yang berbahaya. Meskipun dampak fisik dari hubungan semacam itu diakui secara luas, dampak psikologisnya sering diabaikan.
BACA JUGA: Berkat Kecerdasan Ilmuwan Iran, Program Nuklir tak Dapat Diserang atau Dibom Sekalipun
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Dari sudut pandang psikologis, terutama melalui lensa teori konsep diri Carl Rogers, terlibat dalam hubungan yang haram dapat menyebabkan konflik internal dan tekanan psikologis.
