Sabtu 27 Jul 2024 10:50 WIB

Berpacaran Islami, Mungkinkah? Ini Penjelasan Prof Quraish Shihab

Agama tegas melarang berduaan dengan lawan jenis walau berdalih akan menikah.

Rep: Muhyiddin/ Red: Hasanul Rizqa
Ilustrasi Pegangan Tanggan, Pacaran.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Pegangan Tanggan, Pacaran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam ajaran Islam, konsep berpacaran seperti yang sering dipraktikkan dalam budaya modern tidak dianjurkan. Agama ini menganjurkan hubungan yang halal melalui pernikahan.

Bagaimanapun, syariat pun berbicara tentang interaksi antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Dalam hal ini, ada beberapa prinsip yang perlu dipegang.

Baca Juga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pacar berarti 'teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih yang belum terikat perkawinan.' Perlu diketahui, Islam tidak menghalangi lahirnya cinta kasih antarlawan jenis. Sebab, kecenderungan untuk tertarik pada lawan jenis adalah fitrah manusia atau bahkan hal alami pada semua makhluk biologis.

Dalam buku M Quraish Shihab Menjawab terbitan Lentera Hati dijelaskan, cinta kasih adalah dorongan naluri manusia sejak kecil dan menjadi sebuah kebutuhan setelah dewasa. Menghilangkan atau membendungnya sama sekali akan sangat menyulitkan kehidupan insan itu sendiri.

"Akan tetapi, melepaskannya tanpa kendali juga dapat mengakibatkan bahaya yang tidak kecil," kata Prof M Quraish Shihab dalam buku itu.

Oleh karena itu, lanjut ahli tafsir Alquran itu, Islam memberi tuntunan. Jika ada yang ingin bercinta kasih dengan lawan jenisnya, hendaklah hal itu bertujuan menjalin kehidupan berumah tangga. Tentu, jika masing-masing benar-benar cinta, tidak akan terjadi pelanggaran agama dan moral yang dapat merugikan kedua pihak, khususnya wanita.

"Agama menyerahkan kepada setiap orang untuk memilih siapa yang disenangi dari lawan jenisnya, selama pilihannya itu bukan yang haram dikawini," jelas Quraish Shihab.

Tentu saja, setiap orang memiliki preferensi pribadi. Bagaimanapun, ajaran Islam menggarisbawahi perlunya memperhatikan faktor agama, akhlak, dan keseteraan dalam status sosial dan pendidikan (se-kufu). Adapun hal ihwal kekayaan dan kecantikan atau ketampanan, juga dapat menjadi bahan pertimbangan, tetapi jangan menjadi yang paling utama. Sebab, pernikahan dimaksudkan untuk bersifat langgeng, sedangkan faktor-faktor yang temporal akan memudar seiring berjalannya waktu.

"Ketika seseorang telah berencana untuk kawin, dia diperkenankan atau bahkan dianjurkan untuk mengenal secara baik calon pasangannya," kata Quraish Shihab.

Seorang sahabat pernah menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Ia berencana menikah.

Rasulullah SAW kemudian bertanya, “Apakah engkau pernah melihatnya (si perempuan)?"

Dia menjawab, “Belum.”

Nabi SAW pun memerintahkannya untuk pergi melihat calon pasangannya. "Itu dapat lebih menjadikan perkawinan kalian menjadi langgeng,” sabda beliau.

Sebelum melangsungkan pernikahan, kaum Muslimin generasi sahabat Nabi, tabiin, dan tabiut tabiin dahulu merasa cukup hanya dengan melihat calon istrinya.

Seorang ulama Mesir kenamaan, Sayyid Sabiq menulis dalam Fiqh as Sunnah, mayoritas ulama hanya membenarkan pria melihat wajah dan telapak tangan wanita yang direncanakan untuk dinikahinya. Namun, Dawud azh-Zhahiri membolehkan si pria melihat lebih dari itu, yakni banyak bagian dari badannya si perempuan.

M Quraish Shihab mengatakan, memang hadis-hadis tidak menentukan, bagian mana yang dapat dilihat oleh pria yang akan meminang si wanita. Oleh karena itu, dapat dibenarkan untuk melihat sebatas yang mendukung tujuan sebagaimana dikehendaki agama.

Ada riwayat yang menyatakan, Umar bin Khattab melihat betis Ummu Kaltsim, putri Ali bin Abi Thalib, yang akan dinikahinya. Gadis itu marah sambil berkata, “Kalau engkau bukan amirul mukminin, niscaya kutusuk matamu” (HR Abdurrazzaq dan Said bin Manshur).

Apa yang dibenarkan untuk pria terhadap calon yang akan dipinangnya, dibenarkan juga untuk wanita terhadap calonnya tersebut.

Kita dapat mengatakan bahwa agama menoleransi si calon suami-istri untuk bercakap-cakap atau berjalan bersama. Itu selama mereka ditemani oleh pihak keluarga atau orang terhormat.

"Berjabat tangan dengan lawan jenis pun dapat ditoleransi oleh banyak ulama, tetapi bukan dalam arti bermesra-mesraan atau pacaran dalam pengertian banyak muda-mudi kini," jelas Quraish Shihab.

Dia pun menegaskan bahwa agama sangat tegas melarang berdua-duaan dengan lawan jenis walaupun berstatus calon pasangan (istri atau suami). Bahkan, hal itu tak dapat dibenarkan sekalipun lamaran telah disampaikan.

“Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka jangan sekali-kali berduaan dengan wanita yang tidak ada bersama dia seorang mahramnya, karena kalau mereka berdua saja, maka setan yang menggenapkan mereka bertiga” (HR Ahmad).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement