REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai kalangan menanggapi tindakan Presiden Prabowo Subianto yang telah menerima kehadiran sejumlah taipan di Istana Kepresidenan, Jakarta. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas menilai, kehadiran para konglomerat-besar itu pada hari ini (7/3/2025) dan kemarin (6/3/2025) jelas memicu banyak pertanyaan.
Sebab, lanjut Buya Anwar, di antara para pengusaha super-kaya itu ada yang berkaitan dengan beberapa isu besar yang masih menjadi perhatian masyarakat kini, semisal PIK 2 dan pagar laut yang sempat terpasang sepanjang puluhan kilometer di pesisir utara Tangerang.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Bidang UMKM, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup tersebut mengaku khawatir bila para konglomerat itu akan mempengaruhi Presiden Prabowo dalam memandang isu-isu besar tersebut. Ia berharap, Kepala Negara juga memperhatikan aspirasi masyarakat luas, yakni yang terdampak proyek-proyek para taipan.
"Tentu saja, dalam pertemuan tersebut tidak mustahil hal-hal terkait dengan isu-isu besar tersebut dibicarakan. Di sinilah dikhawatirkan adanya ketidak-seimbangan informasi yang diterima oleh Presiden," ujar Buya Anwar Abbas dalam pesan singkatnya kepada Republika, Jumat (7/3/2025).
Demi menjaga keberimbangan (cover both-side) informasi, dosen UIN Syarif Hidayatullah itu menyarankan kepada Presiden agar mengundang juga perwakilan masyarakat yang terdampak proyek-proyek itu. Terlebih lagi, suara-suara rakyat yang menjadi korban pembangunan juga penting untuk didengarkan.
"Agar terciptanya kemashlahatan yang lebih besar, sebaiknya Presiden juga menerima perwakilan dari para korban, agar tercipta keseimbangan informasi. Ini perlu dilakukan supaya jangan sampai terkesan Presiden hanya mendengar keluhan dari para taipan dan mengabaikan suara masyarakat yang selama ini telah dirugikan," jelas Buya Anwar.
Jika Presiden Prabowo beralasan bahwa diterimanya para taipan tersebut lantaran mereka berperan penting dalam kehidupan ekonomi negeri ini, maka hal itu jangan sampai menafikan rakyat kebanyakan. Sebab, masyarakat---termasuk para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)---juga menjadi tumpuan perekonomian Indonesia.
"Menerima para konglomerat dan para taipan saja, tanpa menerima wakil-wakil masyarakat yang menjadi korban tindakan mereka, jelas kurang elok untuk dilihat dan disaksikan," tukas dia.
View this post on Instagram