REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setahun yang lalu, Amerika meluncurkan kampanye yang bertujuan menghentikan serangan Houthi Yaman terhadap kapal-kapal di Laut Merah. Houthi menyerang kapal yang terafiliasi dengan Israel dan sekutunya.
Bulan lalu, sebuah kapal penjelajah berpeluru kendali AS di wilayah tersebut secara keliru menembaki sebuah F/A-18 Amerika, yang memaksa pilot dan melontarkan diri. Meskipun mereka mengalami luka ringan, insiden tersebut dapat menyebabkan krisis yang signifikan bagi pemerintahan Amerika.
"Selama lebih dari setahun ini, Washington gagal menghentikan kekuatan Houthi, baik terhadap Israel maupun di Laut Merah. Houthi adalah satu-satunya perwakilan Republik Islam Iran yang telah berparade dan menggunakan rudal balistik antikapal," kata Behnam Ben Taleblu, direktur senior program Iran di Foundation for Defense of Democracies yang berpusat di Washington, kepada Al Arabiya.
Kelompok Houthi memulai serangan di laut menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober terhadap Israel, yang memicu respons militer Israel yang menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza. Kelompok Houthi yang didukung Iran mengeklaim serangan mereka merupakan bentuk solidaritas dengan warga Palestina di Gaza yang menjadi korban genosida Israel.
Para kritikus berpendapat bahwa sikap lunak pemerintahan Amerika terhadap Iran telah membuat Teheran dan proksinya dipersenjatai dan didanai. Ada juga kekhawatiran bahwa pemerintahan tersebut telah menahan diri untuk tidak memerintahkan serangan pendahuluan, dan lebih memilih operasi defensif atau pembalasan.
“Kami dianggap defensif dan reaktif, dan kami belum mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjaga kepentingan nasional yang sudah lama ada terkait kebebasan navigasi,” kata pensiunan Jenderal Joseph Votel, mantan kepala operasi militer AS di Timur Tengah.