Ahad 19 Jan 2025 09:32 WIB

Di Balik Ungkapan Penutup Ceramah

Ada kontribusi KH Ahmad Abdul Hamid memopulerkan dua perkataan penutup ceramah.

KH Ahmad Abdul Hamid merupakan sosok di balik populernya ungkapan, billahit taufiq wal hidayah dan wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thariq.
Foto: dok nahdlatul ulama
KH Ahmad Abdul Hamid merupakan sosok di balik populernya ungkapan, billahit taufiq wal hidayah dan wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thariq.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian umat Islam, khususnya warga Nahdliyin, tidak merasa asing dengan ungkapan “billahit taufiq wal hidayah” dan “wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thariq.” Keduanya kerap dijumpai pada bagian akhir ceramah atau surat-menyurat yang bertema keagamaan. Biasanya, ujaran itu disampaikan tepat sebelum salam penutup, baik dalam kesempatan formal maupun informal.

Ternyata, KH Ahmad Abdul Hamid merupakan yang pertama kali memperkenalkan pemakaian dua ujaran tersebut. Pada 1960-an, mubaligh kelahiran Kendal, Jawa Tengah, itu mula-mula menciptakan “billahit taufiq wal hidayah”, sebelum “wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thariq.”

Baca Juga

Awalnya, para kiai Nahdlatul Ulama (NU) marak menggunakan kalimat tersebut. Lama kelamaan, ungkapan itu kian populer di tengah masyarakat. Bahkan, tak sedikit pejabat negara yang menutup pidatonya dengan perkataan tersebut.

Akhirnya, Kiai Ahmad menggagas ungkapan lainnya, yakni “wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thariq.” Kata-kata itu dirasakan cukup sulit untuk ditirukan kalangan non-Nahdliyin.

Baginya, penggunaan kalimat penutup itu dirasakan perlu untuk menjadi ciri khas kiai dan warga NU. Secara kebahasaan, kalimat tersebut berarti ‘Dan Allah adalah Zat yang memberikan petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya.” Hingga saat ini, ide sang alim kelahiran tahun 1915 itu terus menjadi kalimat penutup salam ala Nahdliyin.

Kreativitas Kiai Ahmad tidak hanya di sana. Sebab, dirinya masyhur dengan reputasi keilmuannya, termasuk dalam berkarya. Di sepanjang hayatnya, ia telah menghasilkan banyak kitab, baik dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Mayoritasnya menggunakan aksara Arab-Pegon. Di samping menulis langsung, ia juga tak jarang menerjemahkan berbagai kitab dari bahasa Arab.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement