Senin 13 Jan 2025 09:14 WIB

Mampukah Iran Bangun Senjata Nuklir Saat Donald Trump Mulai Menjabat Jadi Presiden AS?

Para pemimpin AS, bersama Israel telah membahas serangan militer terhadap nuklir Iran

Ayatollah Ali Khamenei
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Ayatollah Ali Khamenei

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat membawa Pemerintahan Iran menuju jalan berbatu, khususnya terkait dengan hubungannya dengan dunia barat, kata para analis seperti dilansir dari Al Jazeera, Sabtu (11/1/2025).

Para pemimpin AS, bersama dengan Israel, telah secara terbuka membahas serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran dan infrastruktur penting seperti pembangkit listrik, fasilitas minyak dan petrokimia. Para pemimpin Iran, termasuk Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, tak gentar. Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) pun mengadakan latihan militer skala besar, yang sebagian besar fokus dalam mempertahankan situs-situs sensitif.

Baca Juga

Selama lebih dari dua dekade, hubungan Iran dengan Barat sebagian besar telah ditentukan oleh perkembangan dalam program nuklir negara itu dan upaya untuk menghentikannya mendapatkan bom. Teheran secara konsisten menyatakan bahwa mereka tidak mencari senjata pemusnah massal.

Baru-baru ini, otoritas politik dan militer terkemuka di Iran telah membahas kemungkinan untuk mengubah kebijakan Teheran yang dinyatakan secara resmi untuk tidak mengejar senjata nuklir di tengah meningkatnya ancaman keamanan.

photo
Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump. Trump disebut akan langsung menandatangani lebih dari 100 perintah eksekutif Di hari pertamanya kembali bertugas sebagai Presiden AS. - (AP Photo/Evan Vucci)

Setidaknya, ada dua aliran pemikiran di Teheran. Pertama, tampak terbuka terhadap kemungkinan melibatkan AS, termasuk dalam program nuklir. Perspektif lain yakni vokal tentang upaya mendapatkan senjata, terutama mengingat tidakadanya kebijakan pencegahan terhadap Israel dan kemunduran bagi sekutu-sekutu regionalnya, Naysan Rafati, analis senior Iran di Crisis Group yang berpusat di Washington, mengemukakan.

“Namun jika kubu pertama menang, tetap diperlukan kemauan di Washington untuk melibatkan Teheran – dan mengingat kerentanan republik Islam tersebut, kemungkinan akan ada kecenderungan untuk menekan rezim tersebut lebih keras daripada mempertimbangkan konsesi untuknya.”

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement