Senin 06 Jan 2025 19:13 WIB

Mengenal Taqi al-Din Muhammad Ibnu Ma'ruf.

Taqi al-Din Muhammad Ibnu Ma'ruf memberi kontribusi besar bagi Matematika.

Ulama (Ilustrasi).
Foto: republika
Ulama (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Nama lengkapnya, Taqi  al-Din Abu Bakar Muhammad bin Zayn al-Din Ma'ruf al-Dimashqi al-Hanafi. Namun, ilmuwan Muslim kelahiran Damaskus, Suriah, yang mendunia pada abad ke-16 M ini lebih dikenal dengan nama yang lebih singkat: Taqi al-Din Muhammad Ibnu Ma'ruf. Dialah ilmuwan yang memberi kontribusi besar bagi perkembangan ilmu matematika, astronomi, optik, dan mekanika hingga kini.

Taqi al-Din yang lahir pada 1521 M mengabdikan dirinya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di kekhalifahan Turki Utsmani. Salah satunya mengabdi sebagai kepala observatorium. Dia meninggal di Istanbul pada 1585 M.

Baca Juga

Pada era itu, tak ada ilmuwan di Eropa yang mampu menandingi kepakarannya. Hal ini bisa dipahami karena Taqi al-Din adalah ilmuwan multitalenta yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Dikenal sebagai astronom andal, ia juga termasyhur sebagai astrolog, insinyur, ahli fisika, pakar matematika, dokter, hakim Islam, ahli botani, filsuf, ahli agama, dan guru madrasah. Dunia ilmu pengetahuan modern juga mengakuinya sebagai ilmuwan yang sangat produktif.

Setidaknya, lebih dari 90 judul buku dengan beragam bidang kajian telah ditulisnya. Sayangnya, hanya tinggal 24 karya monumentalnya yang masih tetap eksis. Sederet penemuannya juga sungguh menakjubkan. Pencapaiannya dalam menemukan berbagai alat mendahului para ilmuwan Barat.

Dalam bukunya berjudul al-Turuq al-Samiyya fi al-Alat al-Ruhaniyya, sang ilmuwan serba bisa ini memaparkan cara kerja mesin uap air dan turbin uap air. Padahal, ilmuwan Eropa Giovani Branca baru menemukan tenaga uap air pada 1629 M.

Salah satu karya populer al-Din adalah pompa enam silinder yang menerapkan sistem monoblock. Temuan alat pada 1559 M ini kian melambungkan namanya sebagai ilmuwan yang disegani. Begitu pula dengan temuan jam yang akurasinya mumpuni. Jam alarm mekanik pertama merupakan buah karyanya.

Al-Din jugalah yang menemukan jam pertama dengan parameter menit dan detik. Pada 1556 M hingga 1580 M, sang ilmuwan telah menemukan alat untuk melihat antariksa, teleskop. Padahal,  teknologi ini baru dikenal peradaban Barat pada abad ke-17 M. Agar lebih dapat mendalami astronomi, dia mendirikan observatorium Istanbul pada 1577 M.

Kecemerlangan al-Din pada ilmu pengetahuan tak timbul dengan sendirinya. Sang ayah, Maruf Efendi, menjadi guru pertamanya. Dimulai dengan menekuni bidang keagamaan sebagai fondasi dasar semua ilmu, sang ayah lalu mengirimkannya untuk belajar ilmu pengetahuan umum di Suriah dan Mesir.

Dari sinilah, al-Din menimba ilmu matematika dari Shihab al-Din al-Ghazzi, sedangkan guru astronominya yang paling berpengaruh adalah Muhammad bin Abi al-Fath al-Sufi. Dari semua ilmu yang dipelajarinya, matematika menjadi bidang favoritnya. Kesukaannya kepada ilmu berhitung itu diungkapkan Taqi al-Din dalam kata pengantar beragam buku yang ditulisnya. Setelah menamatkan pendidikannya, ia menjadi guru madrasah di Damaskus.

Sekitar tahun 1550 M, ia bersama ayahnya bertandang ke Istanbul, Ibu Kota Pemerintahan Ottoman Turki. Selama berada di kota itu, al-Din menjalin hubungan dengan para ilmuwan Turki, seperti Chivi-zada, Abu al-Su`ud, Qutb al-Dinzada Mahmad, dan Sajli Amir. Tak lama kemudian, ia kembali ke Mesir dan mengajar di Madrasah Shayhuniyya dan Surgatmishiyya.

Pada masa itu, al-Din sempat kembali mengunjungi Istanbul meski hanya sebentar. Di sana, ia dipercaya mengajar di Madrasah Edirnekapi. Saat itu, Perdana Menteri Kerajaan Turki Utsmani dijabat Samiz Ali Pasha. Selama mengajar di Madrasah Edirnekapi, al-Din menggunakan perpustakaan pribadi Ali Pasha dan koleksi jamnya untuk penelitian.

Kepribadian al-Din yang hangat dan supel melempangkan jalan baginya untuk menjalin hubungan dekat dengan para ulama dan pejabat negara. Ketika Ali Pasha diangkat sebagai gubernur Mesir, al-Din kembali ke Negeri Piramida itu.

Di Mesir, ia diangkat menjadi hakim atau kadi serta mengajar di madrasah. Namun, ketertarikannya pada astronomi dan matematika tak pernah ditinggalkan. Terbukti, selama tinggal di Mesir, ia menorehkan sejumlah karya di bidang astronomi dan matematika.

Bangun observatorium

Pada era pemerintahan Sultan Selim II, sang ilmuwan kembali diminta mengembangkan bidang astronomi oleh seorang hakim di Mesir, Kazasker Abd al-Karim Efendi, dan ayahnya, Qutb Al-Din. Bahkan, Qutb al-Din menghibahkan kumpulan karya-karyanya beserta beragam peralatan astronomi. Sejak itulah, ia mulai konsisten mengembangkan astronomi dan matematika.

Pada saat bersamaan, al-Din resmi diangkat menjadi kepala astronom kesultanan (Munajjimbashi) Sultan Selim II pada 1571 M. Ia diangkat setelah wafatnya kepala astronom sebelumnya, Mustafa bin Ali al-Muwaqqit.

Pemerintahan Turki Utsmani mengalami perubahan kepemimpinan ketika Sultan Selim wafat. Tahta kesultanan kemudian diduduki Sultan Murad III. Kepada sultan yang baru, al-Din mengajukan permohonan untuk membangun observatorium yang baru. Dia menjanjikan prediksi astrologi yang akurat dengan berdirinya observatorium baru tersebut.

Permohonan itu akhirnya dikabulkan Sultan Murad III. Proyek pembangunan observatorium Istanbul dimulai pada 1575 M. Dua tahun kemudian, observatorium itu mulai beroperasi. Taqi al-Din menjabat sebagai direktur observatorium Istanbul. Sokongan dana yang besar dari Kerajaan Ottoman membuat observatorium itu bersaing dengan observatorium lain di Eropa, terutama observatorium Raja Denmark.

Tak berpangku tangan, di observatorium Istanbul yang dibangunnya, al-Din pun memperbarui tabel astronomi kuno peninggalan Ulugh Beg. Observatorium itu pun mampu menjelaskan tentang pergerakan planet, matahari, bulan, dan bintang.

Suatu saat, al-Din menyaksikan sebuah komet. Ia lalu memperkirakan munculnya komet itu sebagai pertanda kemenangan bagi pasukan tentara Turki Utsmani yang sedang bertempur. Namun, ternyata prediksinya meleset. Sultan pun memutuskan untuk menghentikan kucuran dana operasional bagi observatorium. Akibatnya, pada 1580 M, observatorium berhenti beroperasi.

 

Sejak saat itulah, Pemerintah Utsmani mengharamkan astrologi. Selain alasan agama, konflik politik juga menjadi salah satu pemicu ditutupnya observatorium itu. Meski begitu, astronomi bukanlah satu-satunya bidang yang dikembangkan al-Din. Ia juga berhasil menemukan berbagai teknologi serta karya dalam disiplin ilmu lainnya. Hingga kini, namanya tetap melegenda sebagai  ilmuwan serba bisa pada zamannya. n ed: wachidah handasah

sumber : Dok Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement