Sabtu 14 Dec 2024 11:03 WIB

Pak Haji dan Bu Hajjah Lalai, Masyarakat Boleh Mengingatkannya

Kemabruran itu tidak hanya selama menunaikan ibadah haji.

Haji Mabrur (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Haji Mabrur (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Setiap Muslim yang sudah pernah berhaji ingin meraih predikat haji mabrur (haji yang diterima oleh Allah SWT). Kemabruran itu tidak hanya selama menunaikan ibadah haji, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari setelah kembali di Tanah Air.

''Kunci menjaga kemabruran haji terletak pada tawaashaw bil haqqi wa tawaashaw bish-shabri (saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran),'' jelas Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Prof Dr KH Ahmad Satori Ismail, kepada Republika beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Menurut Ustaz Satori, semua pihak (masyarakat) punya peran yang cukup besar dalam mengingatkan jamaah haji.

''Mereka itu manusia yang bisa lupa dan lalai, karena itu harus ada yang mau mengingatkannya. Baik ulama, ustaz, pemerintah, masyarakat, keluarga, tetangga maupun lainnya,'' jelasnya. Jika tidak ada yang mengingatkannya, kata Ustadz Satori, maka jamaah haji sendiri yang harus selalu mengingatnya. ''Pimpinan agama juga harus mau menasehatinya. Kalau tidak, buat apa peranannya sebagai ustaz, da'i dan ulama,'' tegasnya.

Menurut dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, dalam Alquran Surat Al-Mu'minun Ayat 1-2 dijelaskan:

قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَۙ 

الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خٰشِعُوْنَ

''Sungguh sangat beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu mereka yang senantiasa memelihara (menjaga) sholatnya.''

Dari ayat tersebut, paparnya, maka jamaah haji harus menunjukkan semangatnya dalam memelihara sholatnya. ''Jangan hanya melaksanakan sholat ketika haji saja, sementara sekembalinya ke Tanah Air, sholat ditinggalkan. Ini jelas hajinya tidak mabrur,'' paparnya.

Ustaz Satori menjelaskan, ciri haji mabrur itu tercermin dalam pelaksanaan haji. Pertama, memelihara akidah. Hal ini dicontohkan ketika seluruh jamaah haji mengucapkan talbiyah dan memuji kebesaran dan keagungan Allah SWT. Kedua, gemar melaksanakan sholat secara berjamaah. Selama di Tanah Suci, hampir tidak ada sedikitpun waktu shalat yang terlewatkan tanpa sholat jamaah.

Ketiga, memiliki akhlak yang baik. Seluruh jamaah haji, selama melaksanakan ibadah haji dilarang melakukan pertengkaran, berbuat zalim, fasiq dan melakukan persetubuhan walaupun terhadap isterinya sendiri. Laa rafatsa, wa laa fusuuqa, wala jidaala fi al-hajj.

Keempat, memiliki wawasan yang luas. Selama melaksanakan ibadah haji, jamaah haji banyak menemukan berbagai perbedaan dalam beribadah. Namun, mereka lapang dada menerima perbedaan itu. ''Mereka menjadi sangat toleran demi kedamaian,'' ungkapnya.

Kelima, mampu melawan hawa nafsu. Selama melaksanakan ibadah haji, jamaah mampu menjaga sikap dan nafsunya, demi menggapai haji mabrur. Mereka tidak mudah marah dan bisa mengekang hawa nafsunya selama haji dari keinginan untuk 'kumpul' bersama istrinya.

Keenam, menjadi manusia yang disiplin. Jamaah haji bisa melaksanakan aturan yang telah digariskan untuk ditaati dan jamaah tidak boleh melanggarnya. Misalnya, melaksanakan wukuf dan melontar jumrah pada waktunya. Ini, jelas Ustaz Satori, mencerminkan sikap disiplin jamaah dalam semua urusan.

Ketujuh, kreatif dalam menggunakan waktu. Sebab, jamaah haji bisa menggunakan waktu yang singkat secara maksimal dalam memperbanyak ibadah. Dan kedelapan, haji menumbuhkan sikap kepedulian dan kedermawanan. ''Apabila ada teman, saudara bahkan orang yang tidak dikenalnya sekalipun terjatuh dan membutuhkan pertolongan, mereka tak segan-segan untuk membantunya. Mereka benar-benar ingin menjadi orang yang manfaat bagi orang lain,'' jelasnya.

Jika kedelapan sikap di atas bisa dipahami secara benar, kata Ustadz Satori, niscaya jamaah haji akan sepenuhnya menjaga dan memelihara ibadah haji yang dilaksanakannya itu dengan baik. Karena itu, lanjutnya, peran kita semua untuk mengingatkan mereka jika lalai dan lupa. Ini disebabkan, perubahan situasi dan kondisi yang memungkinkan jamaah menjadi lupa.

Misalnya, karena pekerjaan, mengurus bisnis dan rumah tangga serta urusan duniawi lainnya. ''Tetapi, semuanya berpulang pada pribadi jamaahnya sendiri untuk selalu menjaga kemabruran itu,'' tegasnya. Di sinilah, menurutnya, pentingnya ada lembaga pengajian paska haji, dan bukan hanya sekadar temu kangen semata. Tujuannya adalah silaturahim dan saling mengingatkan.

 

Menurut Ustaz Satori, jamaah haji harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa dirinya sudah berhaji. ''Artinya, kalau mereka lalai dalam melaksanakan shalat sementara saat di Tanah Suci begitu menggebu, harusnya mereka malu dan segera sadar untuk mengerjakannya,' paparnya.

Jika semua jamaah haji benar-benar menjaga kemabruran haji yang telah dilaksanakannya, kata Ustaz Satori, niscaya masyarakat dan bangsa ini, akan menjadi bangsa yang aman, tentram dan sejahtera. Hal itu sebagaimana yang dicita-citakan Alquran, yakni ''Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafuur'' (Negara yang aman dan tentram yang senantiasa mendapatkan ampunan dari Allah). 

photo
INFOGRAFIS Ciri-Ciri Haji Mabrur - (dok rep)

sumber : Dok Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement