REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sudah sering dikatakan bahwa keberhasilan awal para Tentara Salib adalah karena mereka begitu bersatu, sedangkan kondisi umat Islam waktu itu terpecah belah. Perpecahan ini telah dianalisis dan ditegaskan kembali.
Dunia Islam bisa dikatakan dengan ringkas, mereka kehilangan pemimpin-pemimpin utama di semua daerah. Hal ini terjadi menjelang invasi kaum Frank atau Tentara Salib, demikian dijelaskan Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Edinburgh, Carole Hillenbrand dalam bukunya berjudul Perang Salib.
Umat Islam juga tidak memiliki suatu sistem kepemimpinan yang kuat di negara-negara sekitarnya. Penelitian sebelumnya tentang dunia Muslim juga tidak begitu memberi perhatian pada soal perpecahan agama yang akibatnya cukup melumpuhkan itu.
Pada abad ke-10, Khalifah Fatimiyah Syiah Ismailiyah memposisikan diri mereka sebagai oposisi langsung Khalifah Sunni Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Pada abad ke-11, pertentangan itu berujung dengan pecahnya konfrontasi militer antara Fatimiyah dan Saljuk.
Memang, bangsa Saljuk, yang terkenal karena kemenangan mereka pada tahun 463 Hijriyah atau 1071 Masehi di bawah pimpinan Alp Arslan atas pasukan Bizantium di bawah pimpinan Kaisar Romanus Diogenes IV dalam pertempuran Manzikert.
Sebenarnya, pemimpin bangsa Saljuk jauh lebih fanatik dalam menyerukan jihad melawan Dinasti Fatimiyah yang syiah, dibandingkan melanjutkan keberhasilan mereka di wilayah Asia Kecil.
Dalam menentukan pilihan prioritas ini, bangsa Saljuk hanya memilih untuk mementingkan diri mereka sendiri. Ini merupakan pola yang telah berakar dan menjadi karakteristik sebagian besar dunia Islam pada abad pertengahan.
Tercurahnya perhatian utama terhadap konflik-konflik di dalam dunia Islam atau wilayah Islam (Dhr al-Islam) menyebabkan dunia Islam sama-sama mengabaikan ancaman dari pihak luar, yakni Tentara Salib. Cerita yang sama juga terjadi dalam perlawanan awal terhadap invasi bangsa Mongol beberapa abad kemudian.
Para pangeran dan panglima militer Saljuk yang menguasai sejumlah negara kota yang dipusatkan di tempat-tempat seperti Aleppo, Damaskus dan Mosul pada peralihan abad ke-11 mungkin saling bermusuhan dan hampir selalu terlibat dalam peperangan satu sama lain. Namun, peperangan ini bisa disebut sebagai pertikaian keluarga.
Sebagian besar para pemimpin tersebut mewarisi keengganan yang telah berurat akar untuk membentuk aliansi dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir, negara adidaya syiah yang menjadi musuh besar mereka. Pada titik inilah terdapat kehancuran mereka.
Menurut Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Edinburgh, Carole Hillenbrand dalam bukunya, sebenarnya jika ada aliansi umat Muslim yang melibatkan berbagai kelompok yang berbeda, maka umat Islam dapat menahan bahkan melenyapkan serbuan Tentara Salib.
Sebab, dinasti Fatimiyah memiliki akses ke laut di sepanjang pantai Mesir, jika bersatu dengan pasukan Saljuk dari kota-kota Muslim di Suriah dan Palestina, maka dapat menahan bahkan melenyapkan ancaman para Tentara Salib, sebelum sangat terlambat.
Namun, umat Islam terlambat, kaum Frank yakni Tentara Salib merebut dan membentengi pelabuhan-pelabuhan Suriah. Mereka berlanjut dengan membentuk empat negara Salib di wilayah tersebut, di antaranya Yerusalem, Edessa, Antiokhia, Tripoli.