Sabtu 02 Nov 2024 14:01 WIB

Uang Muka Saat Jual Beli, Benarkah Diharamkan dalam Islam?

Al-urbuun adalah uang muka yang diberikan pada awal transaksi.

Hukum Uang Muka dalam Islam (Ilustrasi)
Foto: dok. Pixabay
Hukum Uang Muka dalam Islam (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam kajian fiqih Islam, uang muka atau yang dikenal dengan istilah al-urbuun (العربون) memiliki definisi khusus dan hukum yang bervariasi tergantung pada pandangan ulama. 

Muhammad Aqil Haidar dalam Uang Muka dalam Pandangan Syariat menjelaskan, Al-urbuun juga disebut dengan beberapa variasi sebutan, seperti al-‘arabun (العربون) dan al-urban (العربان). Kamus Al-Muhith mendefinisikan al-urbuun sebagai apa yang menjadi transaksi dalam jual beli.

Baca Juga

Dalam konteks fiqih merujuk pada sejumlah uang yang diberikan pembeli kepada penjual sebagai tanda jadi atau komitmen dalam sebuah transaksi jual beli atau sewa. Uang muka ini bisa menjadi bagian dari pembayaran harga barang atau bisa juga hangus jika transaksi batal.

Para ulama memiliki pengertian serupa mengenai al-urbuun, namun menyampaikannya dengan redaksi yang berbeda. Beberapa ulama terkemuka memiliki pandangan sebagai berikut:

1. Imam Malik: Menjelaskan bahwa al-urbuun adalah praktik ketika seseorang yang hendak membeli barang seperti budak atau hewan kendaraan memberikan uang muka sebagai tanda jadi. Jika transaksi berlanjut, uang tersebut dihitung sebagai bagian dari harga. Namun, jika transaksi dibatalkan, maka uang tersebut menjadi hak penjual tanpa adanya penggantian. 

2. Ibnu Qudamah (Mazhab Hambali): Beliau menyebutkan bahwa dalam al-urbuun, pembeli memberikan sejumlah uang kepada penjual dengan kesepakatan bahwa uang itu akan dihitung sebagai pembayaran jika transaksi berlanjut, namun jika tidak, uang tersebut tetap menjadi hak penjual.

3. Imam Nawawi (Mazhab Syafi’i): Dalam Raudhah at-Thalibin, Imam Nawawi menyebutkan bahwa praktik jual beli urbun adalah haram karena dianggap menguntungkan penjual tanpa memberi hak bagi pembeli. Menurutnya, jika transaksi batal, uang muka tersebut menjadi milik penjual tanpa kompensasi, yang dianggap tidak sah dalam pandangan syariat Islam.

4. Ibn Majah: Dalam kitabnya, Ibn Majah memberi contoh bahwa jika seseorang membeli hewan seharga 100 dinar, pembeli bisa memberikan uang panjar sebesar 2 dinar. Kesepakatannya, jika transaksi batal, maka uang muka ini menjadi hak penjual.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement