REPUBLIKA.CO.ID, SAMPANG— Rais Aam Syuriah PBNU KH Miftakhul Achyar mengungkapkan tiga tongkat pusaka "kesaktian" (kebesaran) organisasi itu, yakni sami'na wa atho'na (kepatuhan ulama), tabayyun (cek informasi tentang NU), dan tertib regulasi (peraturan-AD/ART).
"Sekarang, kesaktian NU masih jam'iyah, bukan jamaah, jadi organisasinya yang besar, tapi jamaahnya belum besar secara ekonomi atau tidak sejahtera, apa NU-nya kurang sakti," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (30/10/2024)
Saat menghadiri pelantikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sampang 2024-2029 (29/10), Kiai Miftah mengutip perintah "Iqra'" (baca/Ilmu) dalam Alquran itu disambungkan dengan perintah "Iqra' bismi Robbik" (bacalah dengan nama Tuhan-Mu).
"Artinya, perintah Ilmu/baca itu menyatu dengan perintah Ibadah (Ketuhanan/Sholat). Pintar, gelar, atau ilmu yang tinggi itu penting, tapi bukan iqra saja, bukan menjadi ulama/ilmu saja, karena bisa melahirkan sikap mementingkan pribadi/kelompok/golongan, tapi kalau dipadukan dengan atas nama Allah, maka akan ada kebersamaan," katanya.
Pengasuh Pesantren Miftakhussunnah, Kedungtarukan, Surabaya, itu mencontohkan Sampang yang sejak dulu dikenal tidak mempunyai gedung bioskop atau tempat kemaksiatan, bahkan NU-nya 99 persen, tapi kenapa masyarakatnya masih belum baik secara kesejahteraan.
"Kebesaran (karomah/kesaktian) secara jam'iyah (organisasi) dan secara jamaah (anggota) yakni sami'na wa atho'na (kepatuhan pada ulama); tabayyun (cek/tertib bila ada informasi yang tidak jelas tentang NU dan jamaah NU); dan tertib regulasi/peraturan-AD/ART (kepatuhan pada hasil kesepakatan)," katanya.