REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Robert Frager dalam karyanya yang berjudul Heart, Self, and Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance, and Harmony, memaparkan sejumlah perbedaan antara psikologi Barat dan psikologi sufi (Islam).
Dalam perspektif Barat, alam semesta diasumsikan terjadi tanpa makna dan tujuan. Seluruhnya dipandang dari sifat materi semata-mata. Sementara itu, psikologi sufi memandang alam semesta diciptakan berdasarkan kehendak Allah dan mencerminkan kehadiran-Nya. “Milik Allah-lah Timur dan Barat; ke manapun engkau menghadap, di situlah wajah Allah berada” (QS al-Baqarah:115).
Selanjutnya, psikologi Barat beranggapan manusia tak lebih dari tubuh. Pikiran dinilai berkembang dari sistem saraf tubuh—yang tampak secara indrawi. Psikologi sufi justru memandang hati spiritual sebagai elemen penting. Manusia lebih dari sekadar tubuh plus pikiran. Setiap insan adalah perwujudan ruh Illahi. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui dari mana kita berasal dan ke mana kita menuju.
“Jiwa kita telah ada sebelum kita dilahirkan dan tetap ada setelah kita meninggal. Tujuan kita adalah menyingkap percikan ilahiah dalam diri kita sendiri,” demikian tulis Frager.
Puncak kesadaran manusia, menurut psikologi Barat, ialah kesadaran rasional. Frager menunjukkan, psikologi sufi atau Islam lebih luas cakupannya daripada itu. Sufi memandang kesadaran rasional seringkali merupakan wujud kondisi “tidur dalam sadar.”