
Oleh : DR Otong Sulaeman, Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Meningkatnya angka bunuh diri di Indonesia—hampir 600 kasus dalam lima bulan pertama 2025 (data Pusiknas Polri)—serta temuan bahwa sepertiga remaja mengalami masalah kesehatan mental (I-NAMHS, 2022), merupakan peringatan serius bagi dunia pendidikan dan ilmu psikologi.
Dalam konteks krisis ini, wacana psikologi Islam memperoleh urgensi baru. Ia tidak lagi sekadar kajian akademik, melainkan tawaran pendekatan yang mengintegrasikan dimensi spiritual, moral, dan sosial khas Islam untuk merespons penderitaan batin secara lebih utuh.
Namun, perdebatan tentang definisi, dasar epistemologis, dan metodologi psikologi Islam masih berlangsung. Pertanyaan kuncinya tetap: Apakah psikologi Islam sekadar adaptasi religius dari teori-teori Barat, ataukah ia merupakan disiplin ilmiah yang tumbuh dari akar pengetahuan Islam sendiri?
Seiring bertumbuhnya program studi psikologi Islam di Indonesia, muncul kebutuhan mendesak untuk merumuskan pendekatan yang kokoh secara konseptual dan metodologis.
Sebagai disiplin yang masih dalam tahap formasi, Psikologi Islam menuntut kejelasan identitas ilmiah, arah epistemik, dan konsistensi metodologis dalam pengembangannya.
Tiga pendekatan
Saat ini, setidaknya terdapat tiga kecenderungan utama dalam pengembangan psikologi Islam yakni pendekatan filosofis transformatif, pendekatan eklektik non-kritis, dan pendekatan integratif dialogis.
Pertama, pendekatan filosofis-transformatif. Ini adalah model pendekatan yang membangun psikologi Islam langsung dari khazanah Islam yaitu Alquran, hadits, filsafat Islam, dan tasawuf.
Pendekatan ini tidak bergantung kepada psikologi Barat, melainkan berusaha membentuk kerangka keilmuannya sendiri secara mandiri dan konsisten.
BACA JUGA: Iran Seakan Berperang Sendirian Hajar Israel, Ingat Nubuat Rasulullah SAW Ini Terbukti Kini
Dalam pendekatan ini, penyusunan body of knowledge psikologi Islam menjadi langkah awal yang sangat penting—yakni menyusun fondasi teoretis, metodologis, dan konseptual yang benar-benar berakar pada worldview Islam. Ini bukan sekadar adaptasi terminologi, melainkan kerja ilmiah yang mendalam dan filosofis.
Pendekatan ini barangkali bisa dirujukkan kepada tradisi neo-Sadrian, yang berkembang dari pemikiran Mulla Sadra dan diwarisi oleh pemikir-pemikir kontemporer yang berusaha merevitalisasi filsafat Islam secara kreatif.
Neo-Sadrianisme dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap akar tradisi epistemologis dan ontologis filsafat Barat modern.
