REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alquran merupakan kitab suci yang tidak dapat dipalsukan, meski satu huruf pun. Susunan Kitabullah itu tetap sebagaimana adanya, sejak pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Keindahan ayat-ayat Alquran membuat manusia terpesona, baik itu era Nabi SAW maupun generasi-generasi sesudahnya. Toh tidak semua jujur mengakui keagungannya.
Misalnya, sang nabi palsu Musailamah al-Kadzdzab. Dia merupakan dedengkot kaum Arab yang menyebar hoaks pasca-wafatnya Rasulullah SAW. Alih-alih ikut dalam barisan kaum Muslimin di bawah panji Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Musailamah justru mengklaim diri sebagai utusan Allah serta hendak menyerang Madinah.
Di luar kontroversinya sebagai nabi palsu, Musailamah diketahui pernah pula membuat ayat-ayat palsu. Hal itu dimaksudkannya untuk menyaingi keindahan Alquran.
Seperti diceritakan Ahmad Fuad Effendy dalam buku Sudahkah Kita Mengenal al-Qur'an?, ada suatu riwayat yang menukil kisah tersebut. Berikut ini adalah "ayat-ayat" yang ditulis Musailamah al-Kadzdzab.
"Yaa dhifda' binta dhifda'aini; naqqii maa tunaqqiin; a'laaka fi al-maa`i wa `asfaluka fii ath-thiin."
Artinya: "Hai katak anak dua katak, berkuaklah sesukamu. Bagian atasmu di air bagian bawahmu di tanah."
Fuad Effendy menuturkan, tidak jelas apa maksud Musailamah dengan gubahannya itu. Mungkin masing-masing baris teks tersebut cenderung ritmis, tetapi maknanya kosong sama sekali.
Hal itu berbeda daripada Alquran, yang penuh hikmah dan terdengar puitis sehingga dapat dihafal. Bahkan, di setiap generasi selalu ada para penghafal Alquran lengkap 30 juz.
Teks tadi bukan satu-satunya karya Musailamah. Ada dua teks lain dari sang nabi palsu itu yang dimaksudkan menyaingi Alquran, khususnya surah al-Fil dan al-Kautsar.
"Al-fiilu, maa al-fiil, wa maa adraaka ma al-fiil; al-fiilu lahu dzanabun wa tsiilun wa khurthuumun thawiil."
Artinya: "Gajah, apakah itu gajah, tahukah kamu apa itu gajah; gajah mempunyai ekor yang kecil dan belalai yang panjang."
"innaa a'thainaa ka al-jamaahir; fashalli li rabbika wa jaahir; inna syani`aka huwa al-kaafir."
Artinya: "Sungguh telah kami berikan kepadamu gundukan tanah; maka shalatlah dengan suara keras; sungguh yang mencelamu adalah orang yang kafir."
Sebenarnya, jauh-jauh hari Alquran sudah menyinggung perihal upaya orang-orang semisal Musailamah al-Kadzdzab. Lihat, misalnya, surah al-Baqarah ayat 23, yang terjemahannya, "Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."
Tantangan dari Alquran ini sampai sekarang tidak ada yang sanggup. Kalaupun ada upaya-upaya, seperti yang dilakukan Musailamah al-Kadzdzab, hanya menunjukkan kelemahan manusiawi, yakni kata-kata yang tuna-makna dan kosong dari hikmah atau bahkan membingungkan pembacanya.
Adapun nasib Musailamah al-Kadzdzab berakhir secara nahas. Dia dan pasukannya kalah dalam pertempuran di Yamamah. Balatentara Muslimin kala itu dipimpin Khalid bin Walid, yang membawa amanat dari Khalifah Abu Bakar.