REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di kalangan Bani Israil dahulu, ada seorang ahli ibadah. Ulama ini mengalami depresi sejak ditinggal wafat istrinya.
Alim tersebut sampai-sampai mengurung diri, menjauhi interaksi dengan masyarakat. Ia menolak dikunjungi oleh siapapun, termasuk murid-murid dan para rekan sesama pendakwah.
Hingga suatu hari, seorang perempuan datang bertamu ke rumahnya dengan alasan, ingin meminta fatwa. Wanita ini dengan sabar menunggu sang tuan rumah agar bersedia menemuinya.
Berjam-jam lamanya, ulama yang sedang bersedih hati itu tetap mengurung diri dalam kamar. Lelaki paruh baya itu tetap menolak untuk bertemu seorang tamu pun.
Akhirnya, pembantunya mengetuk pintu kamar, menyampaikan adanya seorang jamaah yang terus bertahan menunggunya keluar. "Ada seorang wanita yang ingin mendengarkan fatwa dari engkau. Orang-orang sudah pergi, tetapi ia tidak beranjak dari halaman rumah ini," katanya.
Setelah beberapa lama, sang ulama akhirnya berkenan menerima tamu. Perempuan yang sedari tadi menunggu itu dengan antusias meminta izin masuk rumah.
Setelah mendapatkan izin, tamu ini pun duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, datanglah tuan rumah di hadapannya.
Kepada ulama itu, perempuan tersebut mengatakan, "Sesungguhnya aku datang kepadamu untuk meminta fatwa tentang perkara yang menimpaku."
"Tentang apa itu?" tanya sang ulama.
"Jadi, aku meminjam sebuah perhiasan dari tetanggaku. Perhiasan itu aku pakai hingga beberapa hari lamanya. Akan tetapi, tetanggaku ini lantas mengirim beberapa orang untuk mengambil lagi perhiasan itu dariku. Nah, apakah aku harus mengembalikannya?"
Sekilas, sang ulama tampak terkejut. Mengapa untuk perkara semudah ini sampai meminta fatwa? Demikian pikirnya.
Beberapa saat kemudian, ia pun menyampaikan fatwanya. "Demi Allah," kata ulama itu, "Anda tentu saja harus mengembalikan perhiasan itu."
"Semoga Allah merahmatimu," ujar sang tamu, "lantas mengapa engkau bersedih atas apa-apa yang telah Allah pinjamkan kepadamu?"
Ulama ini terkesima. Perempuan tersebut pun melanjutkan kata-katanya.
"Dahulu, Allah meminjamkan kepadamu seseorang yang menjadi istrimu. Kini, Dia mengambilnya lagi. Mengapa engkau terus bersedih hati, seolah-olah istrimu itu adalah milikmu. Padahal, Allah lebih berhak atasnya?" sambungnya lagi.
Ulama Bani Israil ini pun tersadar. Tidak pantas dirinya terlalu bersedih hati dengan kehilangan istri.
Betapapun besar cintanya, sang istri pun akan tetap kembali kepada Tuhannya. Allah SWT Mahamemiliki segalanya. Tak pantas seorang manusia terlalu merasa memiliki.
Ulama itu pun menyampaikan terima kasih atas nasihat si perempuan. Ia berjanji tak lagi mengurung diri dalam kamar, dan kembali menemui umat yang memerlukan ilmu-ilmunya.