Senin 09 Sep 2024 18:00 WIB

Perjuangan Guru di Gaza Saat 10.490 Siswa Wafat oleh Zionis Israel

Guru di Gaza menghadapi masa-masa yang sulit akibat serangan Israel.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Erdy Nasrul
Warga Israel memprotes pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan menyerukan pembebasan sandera yang ditahan di Jalur Gaza di Tel Aviv, Israel, Sabtu, 7 September 2024.
Foto: AP Photo/Ariel Schalit
Warga Israel memprotes pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan menyerukan pembebasan sandera yang ditahan di Jalur Gaza di Tel Aviv, Israel, Sabtu, 7 September 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Sekolah-sekolah di Gaza, Palestina hancur atau telah diubah menjadi tempat penampungan bagi keluarga yang mengungsi akibat perang yang telah membuat puluhan ribu orang wafat. Namun, guru Israa Abu Mustafa menolak membiarkan kematian dan kehancuran merampas pendidikan anak-anak Gaza yang trauma.

Setelah gedung empat lantai yang berisi rumahnya dihancurkan oleh serangan udara zionis Israel, Abu Mustafa mendirikan ruang kelas di atas reruntuhan di bawah tenda.

Baca Juga

Sekolah dadakannya adalah salah satu dari sedikit pilihan yang tersisa bagi anak-anak di lingkungannya, yakni di Gaza yang dijajah oleh zionis Israel.

"Selama perang, kami harus mengisi galon air dan mengumpulkan ranting untuk kayu bakar. Kemudian, Nona Israa menemukan kami dan membawa kami ke sini untuk terus belajar," kata Hala yang berusia 10 tahun, dikutip dari laman Asia One, Jumat (6/9/2024).

Proyek ini dimulai dengan 35 murid dan jumlah itu secara bertahap meningkat menjadi 70 murid, mulai dari prasekolah hingga kelas enam berusia 11-12 tahun.

Sejak perang dimulai pada 7 Oktober, sekolah-sekolah telah dibom atau diubah menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi, yang menyebabkan sekitar 625.000 anak usia sekolah di Gaza tidak dapat belajar di kelas.

Menurut Kementerian Pendidikan Palestina, sedikitnya 10.490 siswa sekolah dan universitas telah wafat dalam serangan Israel. Lebih dari 500 guru sekolah dan pendidik universitas juga wafat.

Konflik meletus ketika pejuang kemerdekaan Palestina yakni Hamas menyerang Israel selatan, menewaskan 1.200 orang dan menyandera lebih dari 250 orang Israel, menurut penghitungan Israel. Israel menanggapi dengan serangan brutal militer di Gaza, membunuh lebih dari 40.861 warga Palestina, kebanyakan wanita dan anak-anak menurut otoritas kesehatan Gaza.

Israel mengatakan bahwa mereka berusaha keras untuk menghindari jatuhnya korban sipil dan menuduh Hamas menggunakan perisai manusia dan beroperasi dari sekolah. Namun, tuduhan Israel dibantah oleh Hamas.

Pelajaran Abu Mustafa lebih dari sekadar kurikulum. Kelas-kelasnya memberikan kesan terstruktur dan rutin di tengah kekacauan.

Tenda tersebut jauh dari ruang kelas tradisional tempat anak-anak dulu bermimpi untuk suatu hari belajar di luar negeri atau menjadi dokter dan insinyur yang membantu masyarakat Gaza, yang miskin dan menderita, pengangguran tinggi sebelum perang meletus. Akibat Israel menjajah Palestina.

"Kami membutuhkan kursi dan meja agar anak-anak dapat belajar dengan baik alih-alih dipaksa menulis di tanah," kata guru berusia 29 tahun itu.

Dengan sumber daya yang terbatas, Abu Mustafa mengajar pelajaran dasar termasuk pelajaran agama, berusaha membuat murid-muridnya tetap terlibat meskipun pemboman terus-menerus dilakukan Zionis Israel menyasar siapa saja termasuk masyarakat sipil di Gaza.

Gaza dan Tepi Barat yang dijajah Israel memiliki tingkat literasi yang tinggi secara internasional, dan sistem pendidikan yang kekurangan sumber daya merupakan sumber harapan dan kebanggaan yang langka di antara warga Palestina.

"Apa yang mungkin menjadi keinginan anak-anak? Mereka memiliki hak untuk belajar di lingkungan yang aman, mereka memiliki hak untuk bermain di tempat yang aman, untuk tidak merasa takut," kata Abu Mustafa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement