REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peradaban Islam menampilkan contoh toleransi antarumat beragama. Sebagai contoh, kebijakan yang diambil Imperium Mughal. Pada masa jayanya, dinasti Muslim ini menguasai hampir seluruh Anak Benua India.
Salah seorang pemimpinnya yang terkemuka adalah Abul Fatah Jalaluddin Muhammad. Penguasa yang masyhur akan sikap tolerannya ini lebih dikenal dengan julukan Sultan Akbar. Ia memerintah sejak medio abad ke-16 hingga wafatnya pada 27 Oktober 1605.
Sultan Akbar paham betul karakteristik masyarakat India yang majemuk. Untuk menjamin ketenteraman rakyat dan stabilitas negara, ia merangkul kelompok-kelompok rajput Hindu. Pada 1579, dihapusnya aturan pajak atas golongan non-Muslim dzimmi, yang di dalamnya termasuk orang-orang Hindu.
Sultan Akbar juga menjalankan sistem birokrasi yang lebih menghargai meritokrasi, alih-alih kesamaan identitas suku dan agama. Maka dari itu, banyak penasihat kerajaan yang berasal dari kalangan Hindu serta non-Muslim lainnya.
Kebijakannya di tengah rakyat pun sarat nilai toleransi. Misalnya, orang-orang yang berperkara akan diadili sesuai dengan kitab suci agama mereka masing-masing.
Dalam masa kekuasaannya, luas wilayah Kesultanan Mughal bertambah tiga kali lipat dari semula. Semasa hidupnya, Sultan Akbar juga membangun banyak infrastruktur publik yang terbuka, tanpa memandang identitas agama. Ribuan sekolah dibangun untuk anak-anak Muslim maupun non-Muslim.
Pusat-pusat kerajaan berdiri di Agra, Fatehpur Sikri, dan Delhi. Semuanya menjadi mercusuar peradaban dunia. Para sarjana dari lintas agama dan mancanegara banyak yang hijrah ke Kesultanan Mughal untuk ikut mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sultan Akbar menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan sains. Ia memerintahkan pembangunan banyak perpustakaan di kota-kota seluruh wilayah kekuasaannya.
Di Fatehpur Sikri, misalnya, sebuah perpustakaan besar dibangun khusus bagi perempuan. Adapun perpustakaan pribadinya menyimpan lebih dari 24 ribu buku yang multi-lingual, seperti bahasa Urdu, Sanskerta, Persia, Yunani, Latin, dan Arab.
Dengan digaji negara, para sarjana setempat aktif menerjemahkan banyak teks dari Sanskerta, Portugis, dan lain-lain ke dalam Persia--bahasa resmi Kesultanan Mughal. Di antara teks besar yang berhasil dialihbahasakan adalah epos Mahabharata dan Ramayana. Bahkan, Sultan Akbar sendiri terlibat dalam aktivitas penerjemahan itu.